Pergerakan Bitcoin Dibayangi Rilis Data Inflasi AS, Pasar Kripto Siaga Penuh

Mohammad Owen . September 09, 2025

Sumber: Kanchanara / Unsplash

Teknologi.id - Bitcoin (BTC) kembali jadi sorotan besar pekan ini. Berdasarkan data CoinMarketCap per Selasa (9/9/2025), harga sang raja kripto bertengger di level 111.600 dolar AS atau setara Rp1,82 miliar. Angka ini menunjukkan kenaikan lebih dari 0,60% dalam 24 jam terakhir. Namun, euforia itu bisa saja cepat berganti waspada karena satu hal: rilis data inflasi Amerika Serikat (AS).

Baca juga: Jangan Salah! Ini Perbedaan Bitcoin dan Blockchain yang Wajib Kamu Pahami

Financial Expert Ajaib, Panji Yudha, menegaskan bahwa pergerakan Bitcoin pekan ini akan sangat dipengaruhi oleh sinyal ekonomi Negeri Paman Sam, terutama terkait laporan inflasi. Menurutnya, setelah pekan yang relatif tenang, kini investor kembali menaruh perhatian pada Wall Street yang sedang diramaikan perdebatan antara pasar tenaga kerja yang melemah dan tekanan inflasi yang meningkat.

Tenaga Kerja AS Melemah, The Fed Diprediksi Pangkas Suku Bunga

Di bulan Agustus, Biro Statistik Tenaga Kerja AS mencatat bahwa nonfarm payrolls hanya naik 22.000 pekerjaan. Angka ini jauh di bawah ekspektasi para ekonom yang memperkirakan penambahan 75.000 posisi.

Data tersebut memperkuat sinyal pelemahan pasar tenaga kerja AS, yang sebelumnya juga sudah diisyaratkan langsung oleh Ketua The Fed, Jerome Powell. Kondisi ini membuat banyak pelaku pasar percaya diri bahwa The Fed hampir pasti akan memangkas suku bunga dalam pertemuan 16–17 September mendatang.

“Data yang lemah ini membuat pasar meyakini 100% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan 16-17 September,” ujar Panji.

Inflasi Bisa Jadi Game Changer

Meski pasar sempat optimistis dengan peluang pemangkasan suku bunga, skenario itu bisa langsung berbalik jika laporan inflasi yang akan dirilis pekan ini menunjukkan lonjakan signifikan. Jika inflasi tetap tinggi, The Fed kemungkinan akan menahan diri, bahkan menunda pemangkasan suku bunga.

Situasi inilah yang berpotensi membalikkan sentimen pasar, menekan saham, hingga menyeret turun harga aset berisiko seperti Bitcoin.

“Prospek pemangkasan suku bunga selama ini menjadi faktor dominan yang menjaga sentimen positif di pasar saham,” jelas Panji.

Dengan kata lain, Bitcoin kini sedang berada di persimpangan jalan. Jika inflasi terkendali, potensi rally bisa berlanjut. Sebaliknya, jika inflasi masih panas, koreksi bisa terjadi dalam waktu dekat.

Prediksi Pergerakan Bitcoin & Ethereum

Menurut Panji, dalam kondisi sekarang, Bitcoin berpotensi bergerak di kisaran 110.000–112.000 dolar AS (Rp1,79–Rp1,82 miliar). Artinya, pergerakan masih relatif terbatas hingga rilis data inflasi benar-benar keluar.

Tak hanya Bitcoin, Ethereum (ETH) juga ikut dipantau ketat pasar. Panji memprediksi ETH akan bergerak di level 4.100–4.400 dolar AS (Rp66,9–Rp71,7 juta).

Angka-angka ini menunjukkan bahwa pasar kripto sedang bermain aman, menunggu kepastian arah kebijakan moneter AS sebelum melancarkan langkah besar berikutnya. 

Bitcoin dan Siklus Ketidakpastian Ekonomi

Fenomena ini kembali menegaskan satu hal: harga Bitcoin sangat terikat dengan kondisi makroekonomi global. Meski sering disebut sebagai “emas digital” yang kebal terhadap guncangan, kenyataannya BTC masih sangat reaktif terhadap kebijakan The Fed, data tenaga kerja, hingga inflasi.

Para investor kini berada dalam mode siaga, karena hasil rilis data inflasi bukan hanya akan menentukan langkah The Fed, tapi juga bisa menjadi pemicu volatilitas besar di pasar kripto. Dalam siklus ketidakpastian seperti ini, Bitcoin sering kali diposisikan sebagai instrumen spekulatif dengan potensi profit besar, namun di sisi lain juga membawa risiko tinggi.

Baca juga: Riset 2025: AI Diprediksi Akan Lebih Boros Listrik daripada Penambangan Bitcoin

Uniknya, siklus semacam ini bukanlah hal baru bagi Bitcoin. Sejak awal kemunculannya, BTC kerap mengalami fase “roller coaster” ketika pasar global diguncang isu besar—mulai dari krisis Eropa, pandemi Covid-19, hingga konflik geopolitik. Setiap momen tersebut selalu melahirkan narasi berbeda: sebagian melihat Bitcoin sebagai safe haven, sementara sebagian lainnya menganggapnya sekadar aset berisiko yang ikut terombang-ambing arus.

Ketidakpastian ekonomi global justru mempertegas identitas Bitcoin sebagai aset yang belum sepenuhnya matang. Ia masih mencari pijakan—apakah benar-benar bisa menjadi “emas digital” yang tahan uji, atau hanya instrumen volatil yang dipengaruhi arus likuiditas global. Di titik inilah, keputusan investor menjadi krusial. Mereka yang berani menanggung risiko akan melihat fluktuasi sebagai peluang, sementara investor konservatif mungkin lebih memilih menunggu kejelasan arah kebijakan The Fed dan laporan inflasi.

Jika tren pemangkasan suku bunga benar terjadi, Bitcoin berpotensi mendapatkan dorongan jangka pendek karena likuiditas pasar akan lebih longgar. Namun, bila inflasi kembali meroket, pasar bisa berbalik arah dengan cepat. Inilah siklus paradoks Bitcoin: ia lahir sebagai simbol kebebasan finansial dari sistem tradisional, tetapi tetap tak bisa lepas dari pengaruh kebijakan ekonomi konvensional.

Menanti Keputusan The Fed

Dalam beberapa hari ke depan, seluruh mata pasar global akan tertuju pada laporan inflasi AS. Jika data mendukung pemangkasan suku bunga, bukan tidak mungkin harga Bitcoin menembus level psikologis baru dan melanjutkan tren naiknya.

Namun, jika inflasi menunjukkan arah sebaliknya, investor harus bersiap menghadapi koreksi tajam. Inilah dinamika pasar kripto yang selalu penuh kejutan—sekaligus menguji seberapa kuat Bitcoin bisa bertahan sebagai aset pilihan di tengah ketidakpastian global.

(mo)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar