Teknologi.id – Derasnya
informasi digital menyebabkan masyarakat sulit membedakan antara fakta, opini
dan hoax, sehingga memunculkan ancaman post-truth. Kondisi ini tidak bisa
diremehkan, sebab jika terus dibiarkan akan menurunkan kepercayaan masyarakat
pada institusi resmi dan membuat masyarakat mudah terpengaruh pada berita hoax.
Maka dari itu, pentingnya untuk memahami apa itu post truth dan
langkah untuk mencegah agar masyarakat tidak terjebak pada situasi post truth
dan ancaman di era digital.
Apa itu Post Truth?
Menurut kamus Oxford, Post-Truth di definisikan sebagai kata yang
merujuk pada keadaan dimana emosi dan opini personal lebih berpengaruh
dibandingkan fakta objektif ketika membentuk opini publik. Istilah Post-Truth
menjadi populer pada tahun 2016. Terbukti ketika Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai “Word of the Year”.
Merujuk pada The Nation, istilah ini pertama kali digunakan oleh Steve
Tesich, seorang penulis drama Serbia-Amerika dalam artikelnya pada Januari
1992. Tesich berpendapat “Presiden Reagan menyadari bahwa publik
sebenarnya tidak ingin tahu kebenaran. Sehingga ia berbohong tetapi dia tidak perlu bersusah payah. Dia merasa kita akan
dengan senang hati menerima hilangnya ingatannya sebagai alibi. Dia hanya lupa
bentuk pemerintahan apa yang kita miliki di negara kita”. Dari pendapat
tersebut, pada akhirnya pemerintah Amerika mendorong rakyatnya untuk “berlindung”
dari kebenaran.
Di Indonesia sendiri juga menghadapi era post trust. Terlebih ketika masa COVID-19, banyak berita dan konten di media sosial yang mengatakan bahwa vaksin COVID-19 memiliki efek samping berbahaya. Post trust juga muncul ketika masa-masa politik seperti pemilu dan pilkada, dimana opini masyarakat dipengaruhi oleh narasi emosional dan isu yang tidak sesuai dengan fakta kredibel.
Baca Juga: WhatsApp Siapkan Fitur Close Friend untuk Status, Mirip Instagram Stories
Perbedaan Fakta, Opini dan Hoax
Dalam era post-truth, kebenaran bukan lagi diukur berdasarkan fakta
dan data yang kredibel tetapi pada sebuah pernyataan yang dapat memengaruhi
perasaan dan mudah diterima oleh masyarakat luas. Sehingga seringkali laporan
jurnalistik, fakta ilmiah dan data resmi kalah dengan opini emosional.
Post truth berbeda dengan fakta, opini dan hoax. Menurut KBBI (kamus Besar bahasa Indonesia):
- Fakta adalah kenyataan yang benar-benar terjadi.
- Opini adalah pendapat umum dari seseorang berdasarkan pengalaman, preferensi atau keyakinan pribadi.
- Hoax adalah informasi yang sengaja dibuat tanpa data untuk memengaruhi opini pubik. Sedangkan,
- Post Truth bukan sekadar hoax atau opini, tetapi kondisi dimana fakta dianggap kurang penting dibandingkan narasi yang emosional.
Mengapa Post-Trust jadi Ancaman di Era Digital?
Di era digital yang serba canggih, peran media sosial seperti
X (twitter), Instagram, Tiktok, WhatsApp dan media sosial lainnya menjadi
faktor utama adalah penyebaran post truth. Masyarakat saat ini lebih percaya
pada opini/perkataan para influencer atau selebgram dibandingkan dengan fakta
asli.
Agar konten-konten yang dihasilkan oleh para influencer cepat viral,
biasanya mereka mengisi konten tersebut dengan reaksi emosional dan akhirnya masyarakat
mudah terpengaruh pada konten tersebut.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh MIT, mengatakan bahwa setidaknya
70% berita hoax mudah tersebar melalui media sosial. Ini menjadi salah satu
faktor yang menyebabkan masyarakat sulit membedakan mana berita yang benar, mana
yang hanya opini dan berita hoax. Dari sini lah kemudian post truth mudah
dikonsumsi publik tanpa melihat fakta dan kenyataan sebenarnya.
Menurut penelitian menyebutkan ada 4 faktor yang menyebabkan post
truth berkembang di Indonesia yaitu:
- Tingkat kepercayaan rendah pada ilmu pengetahuan
- Adanya ketidakseimbangan antara ekonomi dan sosial
- Kapital sosial yang menurun
- Tidak adanya institusi yang memonopoli kebenaran sehingga hilang batasan antara kebohongan dan kebenaran.
Jika narasi emosional atau konten di media sosial lebih dipercaya
masyarakat daripada fakta dan data dari lembaga riset akan menimbulkan
disinformasi dan menjamurnya berita hoax.
Baca Juga: Ciri-Ciri HP Disadap dan Cara Mengeceknya di iPhone dan Android
Peran Literasi Digital untuk Melawan Post Truth
Salah satu langkah utama yang dilakukan untuk melawan post truth adalah
memperkuat literasi digital bagi masyarakat. hal ini juga ditegaskan oleh Aria
Nugrahadi – sekretaris Daerah DIY ketika kegiatan seminar nasional “Literasi
Digital untuk Indonesia Cerdas, Menghadapi Tantangan Disinformasi di Era
Post-Truth” pada 28 Agustus 2025”.
Aria
mengatakan “Dengan literasi digital, masyarakat
Indonesia dapat bertransformasi menjadi masyarakat yang cerdas secara digital,
mampu membedakan fakta dari manipulasi, dan menjadikan teknologi sebagai wahana
produktif, bukan sekadar konsumtif”.
Eko Dono Indarto – Deputi Bidang Koordinasi
Komunikasi dan Informasi Kemenko Polkam RI juga menyatakan bahwa era post truth
saat ini menggambarkan jika fakta dan data sering dikalahkan oleh opini dan
narasi serta emosi lebih mendominasi daripada kebenaran.
Ia juga memaparkan hasil Survei Status Literasi
Digital oleh Kominfo tahun 2022, Indeks Literasi Digital Nasional berada pada kategori
sedang (3,54 dari skala 5) dan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) pada
2024 berada di skor 43,34 dari skala 100.
Dari data tersebut, diperlukan adanya upaya
peningkatan literasi digital melalui Gerakan Nasioanl Literasi Digital. Masyarakat
juga dihimbau agar selalu berhati-hati, jangan mudah terpengaruh pada informasi
dari media sosial dan sebaiknya untuk tetap percaya pada data dan fakta yang
kredibel.
Baca artikel dan berita lainnya di Google News
(SS)
Tinggalkan Komentar