Antara Fakta, Opini dan Hoax: Mengapa Post-Truth Jadi Ancaman di Era Digital?

Sarah Shabrina . September 03, 2025

Teknologi.id – Derasnya informasi digital menyebabkan masyarakat sulit membedakan antara fakta, opini dan hoax, sehingga memunculkan ancaman post-truth. Kondisi ini tidak bisa diremehkan, sebab jika terus dibiarkan akan menurunkan kepercayaan masyarakat pada institusi resmi dan membuat masyarakat mudah terpengaruh pada berita hoax.

Maka dari itu, pentingnya untuk memahami apa itu post truth dan langkah untuk mencegah agar masyarakat tidak terjebak pada situasi post truth dan ancaman di era digital.

Apa itu Post Truth?

Menurut kamus Oxford, Post-Truth di definisikan sebagai kata yang merujuk pada keadaan dimana emosi dan opini personal lebih berpengaruh dibandingkan fakta objektif ketika membentuk opini publik. Istilah Post-Truth menjadi populer pada tahun 2016. Terbukti ketika Oxford Dictionaries menetapkannya  sebagai “Word of the Year”.

Merujuk pada The Nation, istilah ini pertama kali digunakan oleh Steve Tesich, seorang penulis drama Serbia-Amerika dalam artikelnya pada Januari 1992. Tesich berpendapat “Presiden Reagan menyadari bahwa publik sebenarnya tidak ingin tahu kebenaran. Sehingga ia berbohong tetapi dia tidak perlu bersusah payah. Dia merasa kita akan dengan senang hati menerima hilangnya ingatannya sebagai alibi. Dia hanya lupa bentuk pemerintahan apa yang kita miliki di negara kita”.  Dari pendapat tersebut, pada akhirnya pemerintah Amerika mendorong rakyatnya untuk “berlindung” dari kebenaran.

Di Indonesia sendiri juga menghadapi era post trust. Terlebih ketika masa COVID-19, banyak berita dan konten di media sosial yang mengatakan bahwa vaksin COVID-19 memiliki efek samping berbahaya. Post trust juga muncul ketika masa-masa politik seperti pemilu dan pilkada, dimana opini masyarakat dipengaruhi oleh narasi emosional dan isu yang tidak sesuai dengan fakta kredibel.

Baca Juga: WhatsApp Siapkan Fitur Close Friend untuk Status, Mirip Instagram Stories

Perbedaan Fakta, Opini dan Hoax

Dalam era post-truth, kebenaran bukan lagi diukur berdasarkan fakta dan data yang kredibel tetapi pada sebuah pernyataan yang dapat memengaruhi perasaan dan mudah diterima oleh masyarakat luas. Sehingga seringkali laporan jurnalistik, fakta ilmiah dan data resmi kalah dengan opini emosional.

Post truth berbeda dengan fakta, opini dan hoax. Menurut KBBI (kamus Besar bahasa Indonesia):

  • Fakta adalah kenyataan yang benar-benar terjadi.
  • Opini adalah pendapat umum dari seseorang berdasarkan pengalaman, preferensi atau keyakinan pribadi.
  • Hoax adalah informasi yang sengaja dibuat tanpa data untuk memengaruhi opini pubik. Sedangkan,
  • Post Truth bukan sekadar hoax atau opini, tetapi kondisi dimana fakta dianggap kurang penting dibandingkan narasi yang emosional.

Mengapa Post-Trust jadi Ancaman di Era Digital?

 

Di era digital yang serba canggih, peran media sosial  seperti  X (twitter), Instagram, Tiktok, WhatsApp dan media sosial lainnya menjadi faktor utama adalah penyebaran post truth. Masyarakat saat ini lebih percaya pada opini/perkataan para influencer atau selebgram dibandingkan dengan fakta asli.

Agar konten-konten yang dihasilkan oleh para influencer cepat viral, biasanya mereka mengisi konten tersebut dengan reaksi emosional dan akhirnya masyarakat mudah terpengaruh pada konten tersebut.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh MIT, mengatakan bahwa setidaknya 70% berita hoax mudah tersebar melalui media sosial. Ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat sulit membedakan mana berita yang benar, mana yang hanya opini dan berita hoax. Dari sini lah kemudian post truth mudah dikonsumsi publik tanpa melihat fakta dan kenyataan sebenarnya.

Menurut penelitian menyebutkan ada 4 faktor yang menyebabkan post truth berkembang di Indonesia yaitu:

  1. Tingkat kepercayaan rendah pada ilmu pengetahuan
  2. Adanya ketidakseimbangan antara ekonomi dan sosial
  3. Kapital sosial yang menurun
  4. Tidak adanya institusi yang memonopoli kebenaran sehingga hilang batasan antara kebohongan dan kebenaran.

Jika narasi emosional atau konten di media sosial lebih dipercaya masyarakat daripada fakta dan data dari lembaga riset akan menimbulkan disinformasi dan menjamurnya berita hoax.

Baca Juga: Ciri-Ciri HP Disadap dan Cara Mengeceknya di iPhone dan Android

Peran Literasi Digital untuk Melawan Post Truth

Salah satu langkah utama yang dilakukan untuk melawan post truth adalah memperkuat literasi digital bagi masyarakat. hal ini juga ditegaskan oleh Aria Nugrahadi – sekretaris Daerah DIY ketika kegiatan seminar nasional “Literasi Digital untuk Indonesia Cerdas, Menghadapi Tantangan Disinformasi di Era Post-Truth” pada 28 Agustus 2025”.

Aria mengatakan “Dengan literasi digital, masyarakat Indonesia dapat bertransformasi menjadi masyarakat yang cerdas secara digital, mampu membedakan fakta dari manipulasi, dan menjadikan teknologi sebagai wahana produktif, bukan sekadar konsumtif”.

Eko Dono Indarto – Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informasi Kemenko Polkam RI juga menyatakan bahwa era post truth saat ini menggambarkan jika fakta dan data sering dikalahkan oleh opini dan narasi serta emosi lebih mendominasi daripada kebenaran.

Ia juga memaparkan hasil Survei Status Literasi Digital oleh Kominfo tahun 2022, Indeks Literasi Digital Nasional berada pada kategori sedang (3,54 dari skala 5) dan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) pada 2024 berada di skor 43,34 dari skala 100.

Dari data tersebut, diperlukan adanya upaya peningkatan literasi digital melalui Gerakan Nasioanl Literasi Digital. Masyarakat juga dihimbau agar selalu berhati-hati, jangan mudah terpengaruh pada informasi dari media sosial dan sebaiknya untuk tetap percaya pada data dan fakta yang kredibel.

Baca artikel dan berita lainnya di Google News

(SS)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar