Hutan Indonesia Kian Hilang, Bencana Alam Mengintai Tanpa Ampun

⁠Adimas Herviana . December 02, 2025


Foto: CNN

Teknologi.id - Banjir bandang yang melanda Sumatera pada akhir November 2025 bukan sekedar bencana alam melainkan jaminan krisis ekologi yang semakin nyata. Curah hujan ekstrem memang menjadi pemicu awal, namun daya rusak banyak tersebut diperparah oleh hilangnya tutupan hutan di wilayah hulu.

Wahana lingkungan hidup Indonesia (WALHI) menyebutkan bencana ini sebagai dampak akumulatif dari kerusakan ekosistem yang telah berlangsung lama. “Bencana ini bukan hanya diakibatkan oleh intensi hujan namun sebagai dampak positif dari kerusakan-kerusakan ekosistem,” ucap WALHI.

Hutan yang Hilang, Sabuk Pengaman yang Rerlepas

Indonesia adalah rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Namun, sejak 1950 lebih dari 74 juta hektar hutan telah hilang. Pembukaan lahan untuk pertambangan kelapa sawit, pulp, dan karet menjadi penyebab utama deforestasi.

Pakar hidrologi hutan dari UGM, Dr. Hatma Suryatmojo, menjelaskan bahwa hutan di hulu daerah aliran sungai (DAS) berfungsi sebagai spons raksasa yang menyerap air hujan dan menahannya agar tidak langsung mengalir ke sungai. Ketika hutan hilang fungsi intersepsi, infiltrasi, dan evapotranspirasi ikut lenyap. Akibatnya, air hujan langsung menjadi limpasan permukaan yang memicu banjir dan longsor.

Gelondongan Kayu dan Longsor Menjadi Bukti Lapangan

Foto: Media Indonesia

Video viral di media sosial menunjukkan banjir bandang membawa gelondongan kayu di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, hingga Sibolga. Netizen menduga kuat itu merupakan hasil illegal logging. Gubernur Sumatera Barat juga menyebutkan adanya indikasi pada bunga liar di wilayah terdampak banjir.

Materi longsor berupa tanah, batu, dan batang pohon menimbun sungai, menciptakan bendungan alami. Ketika bendungan ini jebol, air meluap dengan kekuatan destruktif, menghancurkan permukiman dan infrastruktur yang ada.

Baca Juga: Satria-1 dan StarLink Bergerak Perbaiki Komunikasi Aceh-Sumatra

Deforestasi Masih di Sumatera

Data menunjukkan bahwa deforestasi di Sumatera berlangsung wasit dan sistematis. Di Aceh sekitar 700.000 hektar hutan hilang antara 1990-2020. Sumatera Utara lebih memperhatikan dengan tutupan hutan tinggal 29% dari luas daratan.

Ekosistem batang Boru, salah satu benteng terakhir hutan tropis Sumut, ini terdesak oleh aktivitas manusia seperti pembukaan kebun dan pertambangan emas. Di Sumatera Barat, meski proporsi hutan masih 54% laju deforestasi sangat tinggi. WALHI sumber mencatat kehilangan 740.000 hektar tutupan pohon antara 2001-2024.

Cuaca Ekstrem dan Siklus Hidrometeorologi

BMKG mencatat curah hujan ekstrem di Sumatera Utara mencapai lebih dari 300 mm per hari saat puncak kejadian.

Siklon tropis senyar yang terbentuk di selat Malaka turut memicu dinamika atmosfer luar biasa, namun para ahli menegaskan bahwa cuaca ekstrem hanyalah pemicu awal.

Kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS telah menghilangkan daya dukung untuk meredam curah hujan tinggi. Tanah yang kehilangan porositas akibat hilangnya akar pohon tidak mampu menyerap air sehingga meretas hujan berubah menjadi limpahan permukaan.

Dampak Banjir dan Emisi Nasional

Global forest watch mencatat bahwa Indonesia terus menebang dan membakar hutan untuk membuka lahan. Negara ini juga menjadi salah satu produsen terbesar gas rumah kaca akibat pembakaran bahan bakar fosil dan pembabatan hutan. 

Bank dunia memperingatkan bahwa Indonesia akan merasakan dampak perubahan iklim secara signifikan seperti banjir, cuaca kering, kenaikan permukaan air laut, dan suhu ekstrem.

Baca Juga: Dampak Bajir Aceh-Sumatra bagi Telekomunikasi Nasional

Kebijakan yang melemah

Meski presiden Joko Widodo sempat menghentikan izin baru kelapa sawit dalam 3 tahun, akan tetapi deforestasi tetap berlanjut. Presiden Prabowo Subianto yang menjabat sejak Oktober 2024, berkomitmen melanjutkan kebijakan pembangunan yang mencakup pertambangan dan infrastruktur.

Aktivis lingkungan memperingatkan bahwa perlindungan hutan semakin melemah. Undang-undang baru bahkan menghapus pasal yang melindungi sebagian utang dari pembangunan.

Arie Rompas dari Greenpeace menyebutkan penghapusan pasal tersebut sebagai sinyal buruk bagi masa depan hutan Indonesia.

Dosa ekologis yang terus berulang

Banjir bandang di Sumatera bukanlah peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola berulang bencana hidrometeorologi yang semakin intens, cuaca ekstrem hanyalah pemicu sementara kerusakan hutan adalah akar masalah yang sesungguhnya.

Tanpa perlindungan hutan yang kuat Indonesia akan terus menghadapi bencana yang lebih dahsyat. Hutan bukan hanya paru-paru dunia tapi juga sabuk pengaman ekologis yang menjaga keseimbangan air, tanah, dan kehidupan itu sendiri.


Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News


(dim/sa)


author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar