Sumber: nokia.com
Teknologi.id - "Kami tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi entah mengapa kami kalah," ucap Stephen Elop, mantan CEO Nokia, sambil menahan tangis. Kalimat ini jadi simbol pahitnya akhir kejayaan sang raksasa ponsel dunia yang dulunya hampir tak tergoyahkan. Tapi kenyataannya, Nokia tumbang. Bukan karena badai dari luar, tapi karena badai dari dalam.
Baca juga: Masih Unjuk Diri, Nokia 110 4G (2024) "Feature Phone" Resmi Diluncurkan!
Siapa yang tak kenal Nokia? Di tahun 1990-an hingga awal 2000-an, merek ini bukan sekadar ponsel, ia adalah gaya hidup. Dari Nokia 3310 yang legendaris hingga ringtone khasnya yang membekas di telinga, Nokia adalah raja. Tapi tak butuh waktu lama, tahta itu runtuh. Dan tahun 2014 menjadi momen klimaks ketika Microsoft mengakuisisi divisi ponsel Nokia seharga 7,2 miliar dolar AS.
Namun, apa sebenarnya penyebab Nokia bangkrut? Apakah hanya karena kalah bersaing secara teknologi? Atau ada cerita lain yang lebih dalam dan menyayat?
Saat iPhone Datang, Nokia Diam
Tahun 2007, Apple memperkenalkan iPhone, ponsel pintar dengan layar sentuh penuh dan sistem operasi yang mulus. Dunia tak lagi sama. Konsumen mulai tergila-gila pada smartphone, bukan sekadar fitur phone yang hanya bisa SMS dan telepon. Tapi, saat kompetitor mulai berlari, Nokia tetap berdiri di tempat. Mereka mengandalkan Symbian, sistem operasi yang usang dan tak fleksibel.
Sementara Apple dan Google meluncur dengan iOS dan Android, Nokia tersandung oleh teknologi yang mereka sendiri tahu sudah tertinggal. Tapi mengakuinya? Tidak semudah itu.
Budaya Ketakutan: Musuh Dalam Selimut
Sebuah studi dari Tim O. Vuori (Universitas Aalto) dan Quy Huy (INSEAD Singapura) mengungkap sisi gelap di balik tembok kejayaan Nokia. Dalam studi bertajuk “Distributed Attention and Shared Emotions in the Innovation Process: How Nokia Lost the Smartphone Battle,” mereka mewawancarai 76 manajer dan engineer Nokia, serta pakar eksternal.
Hasilnya? Budaya kerja di dalam Nokia disebut "mencekam".
Para manajer takut menyampaikan kenyataan karena khawatir dipecat. Eksekutif takut mengatakan bahwa sistem operasi mereka buruk karena takut ditinggalkan investor dan pasar. Di saat yang sama, tekanan untuk "tampil bagus" membuat laporan dimanipulasi, seolah semuanya baik-baik saja.
Ini bukan lagi soal teknologi. Ini tentang budaya kerja yang tidak sehat. Ketakutan jadi makanan sehari-hari. Kejujuran dibungkam demi citra. Dan inovasi? Tersendat karena tak ada ruang untuk gagal.
Keputusan yang Salah di Momen yang Salah
Alih-alih membangun sistem operasi baru, Nokia justru fokus mengeluarkan berbagai model ponsel untuk mengejar target jangka pendek. Ironisnya, target jangka pendek ini pun tak selalu tercapai. Namun, karena budaya kerja penuh tekanan, manajer menengah memilih "berbohong" demi menyelamatkan diri.
Para pemimpin Nokia pun dinilai tidak memahami aspek teknis dari teknologi yang mereka pegang. Mereka bukan engineer seperti halnya Steve Jobs atau para pimpinan Apple lainnya. Maka tak heran, keputusan yang diambil lebih banyak didasari ego dan ambisi, bukan pemahaman mendalam tentang inovasi teknologi.
Ketika Nilai Perusahaan Tinggal Slogan
Nokia punya nilai-nilai yang secara teori hebat: Respect, Challenge, Achievement, dan Renewal. Tapi menurut para pegawai, nilai-nilai itu hanya hiasan dinding. Dalam praktiknya, para petinggi tidak menghormati suara dari bawah, tidak berani menerima tantangan, dan gagal memperbarui strategi bisnis sesuai zaman.
Karyawan merasa suara mereka tidak didengar. Ide-ide segar mati sebelum sempat tumbuh. Dan yang lebih menyedihkan, perusahaan terlalu nyaman dengan zona nyamannya. Padahal, dunia teknologi bergerak sangat cepat. Terlambat beradaptasi berarti tertinggal.
Miopia Temporal dan Hilangnya Masa Depan
Studi juga menyebut fenomena “miopia temporal” alias ketidakmampuan melihat jauh ke depan. Nokia hanya fokus pada solusi jangka pendek dan mengabaikan dampak jangka panjang. Padahal, saat itu dunia sedang beralih ke smartphone. Ketika iPhone dan Android bersaing memperbaiki sistem operasi mereka, Nokia masih sibuk meluncurkan model baru dengan teknologi lama.
Dan seperti cerita klasik perusahaan besar lainnya, Nokia akhirnya jatuh pada jebakan sukses masa lalu. Mereka lupa bahwa konsumen berubah. Dunia berubah. Dan mereka harus berubah.
Baca juga: Samsung Berencana Akuisisi Jaringan Seluler Nokia
Setelah Akuisisi, Nama Nokia Masih Ada—Tapi Bukan yang Dulu
Setelah dibeli Microsoft, Nokia sempat mencoba bangkit lewat Windows Phone. Tapi sayangnya, sistem operasi itu pun gagal menyaingi dominasi Android dan iOS. Pada 2016, lisensi merek Nokia akhirnya dipegang oleh HMD Global, sebuah perusahaan asal China. Ponsel Nokia masih ada sampai sekarang, tapi bukan lagi sang raja seperti dulu.
Kisah Nokia menjadi pelajaran penting: tidak cukup hanya hebat di masa lalu. Inovasi dan kemampuan mendengarkan suara dari dalam perusahaan jauh lebih penting. Bahkan perusahaan sebesar Nokia pun bisa tumbang jika terlalu percaya diri dan menutup mata pada perubahan.
Dan mungkin, pernyataan Stephen Elop bukan sepenuhnya benar. Nokia memang tidak melakukan kesalahan secara sadar, tapi justru karena terlalu takut untuk mengakui kesalahan, akhirnya mereka kalah dalam peperangan smartphone.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
Tinggalkan Komentar