
Teknologi.id - Fenomena halusinasi AI belakangan semakin banyak diperbincangkan. Hal ini paling sering terjadi pada model bahasa besar atau large language model (LLM), seperti ChatGPT, Claude, dan sejenisnya.
Mesin yang dirancang untuk memahami dan merespons bahasa manusia ternyata bisa “berimajinasi” terlalu jauh. Hasilnya adalah jawaban yang terdengar meyakinkan—lengkap dengan kutipan, referensi, dan kalimat rapi—tetapi sebenarnya fiktif.
Jika pengguna tidak waspada, halusinasi AI bisa menjadi jebakan berisiko yang berdampak besar.
Baca juga: Gebrakan Baru dari Open AI! Bisa Belanja di ChatGPT Pakai Fitur Instant Checkout
Apa Itu Halusinasi AI?
Dalam dunia kecerdasan buatan, istilah halusinasi digunakan secara metaforis. AI bukanlah makhluk hidup, ia tidak memiliki kesadaran maupun indra. Namun, AI bisa membentuk pola berdasarkan data pelatihan.
Ketika pola itu tidak lengkap, bias, atau terlalu rumit, sistem dapat menghasilkan jawaban yang tidak akurat. IBM bahkan menyebut halusinasi AI terjadi akibat overfitting—interpretasi berlebihan dari data terbatas.
Fenomena ini mirip dengan cara manusia melihat wajah di awan atau hewan di permukaan bulan. Otak kita mencari pola, dan ketika tidak menemukannya, ia menciptakan sendiri. Model bahasa besar juga bekerja dengan prinsip serupa: menyusun kata demi kata berdasarkan probabilitas, bukan kebenaran.
Mengapa Halusinasi AI Bisa Terjadi?
Berdasarkan penelitian berjudul Why Language Models Hallucinate, penyebab utama halusinasi terletak pada proses pelatihan dan evaluasi AI.
-
AI lebih mengutamakan jawaban daripada ketidakpastian.
Sistem AI dilatih untuk memberikan respons, bukan untuk berkata “saya tidak tahu.” -
Bias dalam data pelatihan.
Jika data kurang variatif atau mengandung kesalahan, AI akan belajar dari pola yang keliru. -
Referensi palsu yang terlihat meyakinkan.
AI bisa menciptakan kutipan akademik fiktif, nama jurnal yang tidak pernah ada, hingga referensi hukum palsu dengan gaya bahasa yang tampak valid.
Dampak Halusinasi AI di Dunia Nyata
Halusinasi AI bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan masalah serius di berbagai bidang:
-
Hukum: Seorang pengacara di California didenda ratusan juta rupiah setelah mengajukan dokumen hukum berisi kutipan palsu dari ChatGPT.
-
Medis: Google pernah melaporkan bahwa AI bisa salah mengidentifikasi jaringan sehat sebagai kanker jika data pelatihan tidak mencakup variasi yang memadai. Hal ini tentu membahayakan pasien.
-
Keuangan: Kesalahan informasi bisa memicu keputusan investasi yang keliru dan berisiko besar.
Bisakah Halusinasi AI Dihilangkan?
Para peneliti sepakat bahwa halusinasi bukanlah bug, melainkan fitur dari AI berbasis LLM. Sohrob Kazerounian, peneliti di Vectra AI, menyebut bahwa semua keluaran LLM sebenarnya adalah bentuk halusinasi—hanya saja sebagian kebetulan benar.
Beberapa upaya yang dilakukan untuk mengurangi halusinasi AI:
-
Menggunakan data pelatihan yang lebih bersih dan beragam.
-
Evaluasi berbasis fakta (fact-checking).
-
Mengembangkan AI yang bisa mengakui ketidaktahuan.
Model terbaru seperti GPT-4 dan Claude 2 memang lebih minim kesalahan, tetapi risiko halusinasi tetap ada selama AI diprogram untuk selalu menjawab.
Baca juga: 20 Contoh Prompt Gemini AI Foto Studio Background Merah Vertikal yang Keren
Antara Imajinasi Mesin dan Tanggung Jawab Manusia
Halusinasi AI adalah pengingat bahwa teknologi secanggih apa pun tetap membutuhkan pengawasan manusia.
AI bisa membantu mempercepat pekerjaan, memberikan insight baru, dan memperluas akses pengetahuan. Namun, tanggung jawab untuk memverifikasi informasi tetap berada di tangan pengguna.
Bagi pekerja, pelajar, maupun masyarakat yang mengandalkan AI, memahami batas kemampuan mesin adalah langkah awal untuk menggunakan teknologi secara bijak.
Halusinasi bukan alasan untuk menolak AI, melainkan peringatan agar kita lebih kritis. Karena pada akhirnya, akurasi bukan hanya soal benar atau salah, tetapi juga dampak yang ditimbulkan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(ipeps)

Tinggalkan Komentar