Sumber: Google.com
Teknologi.id - Setelah bertahun-tahun dikenal sebagai raksasa teknologi yang mendominasi internet, Google kini membuka halaman baru dalam perjalanan bisnisnya. Bukan lagi hanya soal pencarian, peta, email, atau kecerdasan buatan, tetapi Google kini melangkah masuk ke dunia hiburan. Lebih spesifiknya: industri film dan serial.
Baca juga: Google NotebookLM Tersedia Bahasa Indonesia & Jawa: Bikin Podcast Belajar Makin Seru!
Langkah ini menandai arah baru yang menarik dan cukup mengejutkan. Jika Apple dan Amazon telah lebih dulu berkecimpung di industri ini lewat platform streaming mereka masing-masing, Google memilih jalan yang sedikit berbeda. Mereka tidak langsung membuat layanan streaming sendiri, melainkan memulai dengan inisiatif kreatif dan kemitraan strategis.
100 Zeros: Gerbang Google Menuju Layar Lebar
Google resmi meluncurkan inisiatif bernama “100 Zeros”, sebuah program kemitraan jangka panjang dengan agensi ternama Hollywood, Range Media Partners. Tujuan dari kemitraan ini adalah untuk mendanai dan memproduksi berbagai konten hiburan, mulai dari film fiksi, dokumenter, hingga serial televisi.
Program ini bertujuan bukan hanya untuk menghasilkan film semata, tetapi juga untuk membangun relevansi budaya Google di mata publik, serta memperkenalkan teknologi mereka lewat pendekatan storytelling.
Salah satu proyek perdana yang telah diperkenalkan ke publik adalah “Cuckoo”, sebuah film horor independen yang mendapatkan dukungan promosi dari Google. Ini menjadi sinyal awal bahwa perusahaan ini benar-benar serius menggarap dunia film, bukan sekadar coba-coba.
Namun, apa yang dilakukan Google tidak berhenti di situ. Mereka juga meluncurkan program baru bertajuk “AI On Screen”, yang lebih berfokus pada pendanaan film-film pendek bertema kecerdasan buatan (AI). Film-film pendek ini bukan hanya sekadar eksperimen, tetapi berpotensi untuk dikembangkan menjadi film panjang di masa depan.
Lebih dari Sekadar Film: Strategi Branding Baru Google
Langkah ini mencerminkan strategi Google yang ingin memanfaatkan kekuatan narasi visual sebagai cara baru untuk membangun citra dan brand awareness, terutama di kalangan Gen Z.
Generasi muda saat ini tidak hanya mengonsumsi informasi lewat artikel atau media sosial, tetapi juga lewat tayangan visual yang kuat seperti film, serial, dokumenter, hingga video pendek. Di sinilah Google melihat peluang besar. Dengan memproduksi dan mendukung konten berkualitas, Google dapat menyisipkan nilai, pesan, bahkan teknologi mereka ke dalam cerita-cerita yang menyentuh emosi penonton.
Pendekatan seperti ini memang tidak langsung mendatangkan profit seperti iklan atau langganan layanan, tetapi dalam jangka panjang, dapat membangun koneksi emosional dengan audiens, sesuatu yang sangat penting dalam era digital saat ini.
Beda Jalur dengan Apple dan Amazon
Perbandingan tentu tidak bisa dihindari. Dua kompetitor besar Google yaitu Apple dan Amazon, sudah lebih dulu mencetak jejak di dunia hiburan.
Apple, misalnya, meluncurkan Apple TV+ pada tahun 2019. Layanan ini dikenal dengan pendekatan eksklusif dan berfokus pada kualitas tinggi. Beberapa judul seperti Ted Lasso, The Morning Show, hingga CODA (yang berhasil memenangkan Oscar sebagai Film Terbaik pada 2022) menjadi bukti keberhasilan Apple dalam menciptakan konten premium.
Di sisi lain, Amazon juga sangat agresif dengan Prime Video, bagian dari ekosistem langganan Amazon Prime. Mereka telah mengembangkan berbagai judul populer seperti The Boys, Reacher, hingga proyek ambisius The Lord of the Rings: The Rings of Power. Tidak tanggung-tanggung, Amazon juga mengakuisisi studio film legendaris MGM pada tahun 2022, memperkuat posisi mereka dalam industri ini.
Namun, Google memilih jalur lain. Mereka belum mengumumkan akan membuat layanan streaming seperti Apple TV+ atau Prime Video. Belum ada pula informasi apakah mereka akan membentuk divisi distribusi konten sendiri. Untuk saat ini, Google tampaknya lebih memilih untuk bermitra dengan pihak ketiga, memanfaatkan ekosistem kreatif yang sudah ada di Hollywood, dan fokus pada pendanaan serta promosi.
Storytelling Sebagai Jembatan Teknologi dan Budaya
Salah satu alasan utama Google terjun ke dunia film adalah untuk memperkenalkan teknologi mereka dalam konteks yang lebih manusiawi dan emosional. Banyak orang menganggap teknologi sebagai sesuatu yang dingin, kompleks, dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun lewat film, Google bisa menampilkan sisi lain dari teknologi: bagaimana AI bisa menyentuh kehidupan manusia, bagaimana data membentuk budaya, atau bagaimana algoritma mempengaruhi keputusan kita.
Program “AI On Screen” adalah contoh nyata dari upaya ini. Film-film pendek bertema kecerdasan buatan akan menunjukkan berbagai skenario futuristik, mungkin menegangkan, mungkin menyentuh hati dan yang bisa memantik diskusi publik soal masa depan teknologi. Ini bukan hanya soal menghibur, tapi juga soal mendidik dan membentuk persepsi.
Baca juga: Google Terancam Lepas Chrome? OpenAI, Yahoo, dan Perplexity Rebutan Jadi Pemilik
Dengan masuknya Google ke dunia hiburan, peta persaingan di industri ini semakin seru. Kini, bukan hanya perusahaan film tradisional yang bersaing, tetapi juga para raksasa teknologi yang membawa sumber daya, data, dan jaringan distribusi global.
Langkah Google memang belum sepenuhnya jelas, apakah akan ada aplikasi streaming khusus, atau hanya sebatas pendanaan proyek kreatif, tapi yang pasti, mereka telah menunjukkan sinyal kuat bahwa cerita adalah kekuatan baru yang mereka andalkan. Cerita untuk menyampaikan ide, menyentuh hati, dan membentuk budaya digital masa depan.
Di tengah dunia yang semakin padat informasi dan cepat berubah, Google tampaknya memilih untuk melambat sejenak dan bercerita. Kemungkinan besar, itulah cara terbaik untuk tetap relevan.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
Tinggalkan Komentar