Sumber: Tokocrypto News
Teknologi.id - Warga Indonesia kembali dihebohkan dengan isu privasi digital yang melibatkan aplikasi World atau World App. Aplikasi ini, yang sempat viral karena menjanjikan imbalan hingga Rp 800 ribu hanya dengan memindai iris mata, ternyata telah mengumpulkan data biometrik dari setengah juta warga Indonesia sejak tahun 2021. Fakta ini baru terungkap setelah pemanggilan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terhadap pihak pengembang aplikasi, Tools for Humanity (TFH).
Baca juga: Menkomdigi Dorong Migrasi ke eSIM demi Keamanan Data Digital
Iming-iming Uang Tunai yang Bikin Geger
Beberapa waktu lalu, warga Bekasi sempat heboh karena antrean panjang di berbagai titik, seperti Narogong, Bekasi Timur, hingga Bojong Rawalumbu. Mereka rela antre demi mendapatkan imbalan finansial dari World App hanya dengan memindai iris mata. Dari remaja hingga lansia, semua penasaran mencoba aplikasi yang disebut-sebut bisa memberikan uang hanya dalam hitungan menit.
Namun di balik iming-iming cuan cepat itu, ternyata tersimpan isu besar terkait keamanan data biometrik. Aplikasi World App sendiri merupakan bagian dari proyek global Worldcoin yang digagas oleh Sam Altman, pendiri OpenAI. Melalui aplikasi ini, pengguna akan memiliki dompet digital yang bisa digunakan untuk mengelola mata uang kripto, menyimpan World ID (identitas digital), dan mengakses berbagai layanan dalam ekosistem World Network.
Klarifikasi dari Komdigi: 500 Ribu Data Retina Terkumpul
Pada Rabu (7/5/2025), Komdigi memanggil perwakilan TFH untuk klarifikasi mendalam. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, menyebut bahwa dalam pertemuan tersebut, TFH mengakui bahwa mereka telah mengumpulkan lebih dari 500 ribu data retina dan retina code dari pengguna Indonesia sejak tahun 2021.
"TFH kemudian menyampaikan bahwa mereka telah mengumpulkan lebih dari 500 ribu retina dan retina code dari pengguna di Indonesia," kata Alex dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Alex juga menegaskan bahwa pihaknya tengah melakukan evaluasi mendalam terhadap aplikasi ini. Proses analisis teknis dan peninjauan kebijakan privasi TFH sedang dilakukan untuk menentukan langkah hukum dan kebijakan lanjutan. "Kami tegaskan bahwa hasil klarifikasi ini akan dibahas secara internal dan ditindaklanjuti," tambahnya.
Belum Daftar PSE Sejak Awal
Menariknya, meskipun sudah beroperasi sejak 2021, World App baru mendaftarkan diri sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) pada tahun 2025. Ini tentu menimbulkan pertanyaan besar soal kepatuhan terhadap regulasi digital di Indonesia.
"Untuk saat ini kami sedang mendalami secara teknis apa yang sebenarnya mereka lakukan. Karena informasinya mereka sudah melakukan pengumpulan data itu sejak tahun 2021," kata Alex.
Selain itu, Komdigi juga meminta penjelasan lebih lanjut soal alur bisnis dan ekosistem produk TFH, termasuk pemberian insentif finansial dalam pengumpulan data pribadi. Isu-isu utama seperti keamanan data biometrik pengguna, kepatuhan terhadap kewajiban registrasi PSE, serta batas tanggung jawab antar entitas di bawah TFH menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut.
Aktivitas Pemindaian Dihentikan
Setelah penangguhan sementara Tanda Daftar PSE oleh Komdigi, TFH dikabarkan telah menghentikan seluruh aktivitas pemindaian retina di Indonesia. Sebelumnya, kegiatan ini dilakukan oleh enam operator lokal yang bekerja sama dengan mereka.
Penghentian aktivitas ini menjadi langkah awal untuk mencegah penyalahgunaan data biometrik yang bisa berdampak serius pada privasi masyarakat. Meski pihak TFH mengklaim bahwa data iris tidak disimpan dan hanya digunakan untuk verifikasi identitas, banyak pihak masih mempertanyakan transparansi dan keamanan sistem mereka.
Baca juga: RI Kedatangan Indonesia Airlines, Maskapai Baru Milik Singapura
Antara Kemajuan Teknologi dan Etika Digital
Fenomena World App menunjukkan betapa cepatnya teknologi bisa menarik perhatian masyarakat, apalagi jika dibarengi dengan imbalan finansial. Namun, ini juga jadi pengingat penting bahwa setiap inovasi digital harus berjalan beriringan dengan etika dan kepatuhan terhadap hukum, terutama yang menyangkut data pribadi.
Ke depan, kasus ini bisa jadi preseden penting bagi Indonesia dalam memperketat regulasi perlindungan data, terutama untuk entitas asing yang beroperasi di ranah digital nasional. Di era di mana data adalah 'mata uang baru', kewaspadaan masyarakat dan ketegasan regulator menjadi kunci utama.
Sambil menunggu hasil evaluasi resmi dari Komdigi, satu hal sudah jelas: jangan mudah tergiur oleh iming-iming cuan instan, apalagi kalau itu harus dibayar dengan data paling pribadi dari tubuh kita, yaitu retina mata.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
Tinggalkan Komentar