.jpg&size=720x400)
Teknologi.id - Hubungan antara Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dan CEO Tesla serta SpaceX, Elon Musk, kembali menjadi sorotan tajam publik dan media. Pasalnya, Trump secara terbuka menyatakan bahwa dirinya mempertimbangkan kemungkinan untuk mendeportasi Musk dari Amerika Serikat. Pernyataan ini muncul usai kritik tajam yang dilayangkan oleh Musk terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) anggaran negara yang menjadi prioritas pemerintahan Trump.
Kontroversi ini semakin menarik perhatian karena Elon Musk bukan hanya tokoh teknologi ternama dunia, melainkan juga seorang warga negara AS yang sudah mendapatkan kewarganegaraannya sejak tahun 2002. Selain itu, keduanya pernah berada di pihak yang sama secara politik, terutama saat Pilpres 2024 lalu, ketika Musk termasuk salah satu penyumbang dana terbesar untuk kampanye Trump.
Awal Mula Perselisihan
Permasalahan dimulai ketika pemerintah Trump mengajukan RUU yang dikenal sebagai “One Big Beautiful Bill”. RUU ini mencakup berbagai ketentuan, mulai dari pengurangan bantuan sosial, peningkatan belanja militer dan imigrasi, hingga pemangkasan insentif untuk kendaraan listrik (EV). Nilai total dari anggaran dalam RUU tersebut diperkirakan akan menambah utang negara sebesar US$3,3 triliun, atau sekitar Rp53.000 triliun.
Elon Musk secara terbuka mengkritik RUU tersebut melalui platform media sosial X, yang juga dimilikinya. Ia menyebut RUU itu sebagai kebijakan yang tidak rasional dan dapat membebani negara dengan utang dalam jangka panjang.
"RUU ini mengabaikan masa depan energi bersih dan teknologi, serta hanya memperparah beban fiskal negara," tulis Musk dalam salah satu unggahannya.
Musk juga menyatakan bahwa ia mempertimbangkan untuk membentuk partai politik baru bernama America Party jika RUU itu tetap disahkan oleh Kongres.
Baca Juga: Drama Baru Elon Musk: Cabut dari Pemerintahan Trump, Sempat Kecewa Berat Sama RUU
Reaksi dari Trump
Kritik tajam Elon Musk rupanya membuat Trump tersinggung. Dalam konferensi pers di Gedung Putih, ia menyampaikan bahwa dirinya mungkin akan meminta lembaga pemerintah untuk meninjau ulang status kewarganegaraan dan dukungan finansial pemerintah kepada Musk.
“Kita lihat saja nanti,” kata Trump saat ditanya wartawan apakah dirinya benar-benar berniat mendeportasi Musk.
Trump juga mengklaim bahwa alasan Musk menentang RUU tersebut adalah karena di dalamnya terdapat pasal yang menghapus sejumlah insentif untuk kendaraan listrik. Menurutnya, Musk menjadi emosional karena merasa dirugikan secara bisnis.
"Dia kehilangan banyak keuntungan dari insentif EV. Itu yang membuatnya marah," ujar Trump.
Baca Juga : Klaim Gencatan Senjata Iran-Israel: Trump Umumkan, Iran Membantah
Sindiran dan Ancaman Soal Subsidi
Tak berhenti sampai di situ, Trump kembali menyindir Elon Musk lewat unggahan di platform media sosial miliknya, Truth Social. Ia menyebut bahwa tanpa subsidi dari pemerintah, Musk kemungkinan tidak akan mampu menjalankan Tesla dan SpaceX.
"Tanpa dukungan federal, perusahaan-perusahaan itu mungkin tidak akan eksis. Dia bisa saja kembali ke Afrika Selatan," tulis Trump.
Trump juga mengungkapkan bahwa ia mungkin akan memerintahkan Department of Government Efficiency (DOGE), lembaga yang sempat dipimpin oleh Musk sebelum mundur pada Mei lalu, untuk menyelidiki semua dana publik yang pernah diterima oleh perusahaan-perusahaan milik Musk.
Respons Elon Musk
Menanggapi pernyataan Trump, Elon Musk tetap menunjukkan sikap tenang. Dalam sebuah video pendek yang diunggah di akun X miliknya, ia mengatakan bahwa dirinya memilih untuk tidak menanggapi dengan emosi, meskipun tergoda untuk melakukan hal sebaliknya.
"Untuk saat ini, saya memilih menahan diri," kata Musk singkat dalam video tersebut.
Namun, banyak pengamat menilai bahwa Musk hanya menunggu waktu yang tepat untuk memberikan respons yang lebih tegas—terutama jika Trump benar-benar melangkah lebih jauh.
Kompleksitas Politik dan Bisnis
Perseteruan antara dua tokoh besar ini menjadi sangat rumit karena menyangkut kepentingan politik, ekonomi, hingga teknologi. Sebelumnya, Trump pernah secara terbuka mendukung Tesla. Bahkan, ia pernah memamerkan mobil listrik Tesla Model S di halaman Gedung Putih dan mendorong warga Amerika untuk membeli produk buatan dalam negeri.
Ironisnya, beberapa bulan setelah pernyataan tersebut, ia justru mengancam akan mencabut seluruh subsidi untuk kendaraan listrik dan proyek luar angkasa yang dikembangkan oleh perusahaan Musk.
“Tidak semua orang ingin mobil listrik,” kata Trump dalam salah satu wawancara terbaru. “Saya pribadi juga tidak suka.”
Ancaman deportasi terhadap Elon Musk mendapat tanggapan yang beragam dari publik. Sebagian kalangan politik menilai ancaman tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang presiden. Musk, yang telah menjadi warga negara AS selama lebih dari dua dekade, secara hukum tidak bisa dideportasi sembarangan tanpa dasar hukum yang kuat.
Sementara itu, pendukung Trump beranggapan bahwa kritik Musk terhadap kebijakan negara tidak pantas dilakukan secara terbuka, apalagi oleh seseorang yang telah banyak mendapatkan manfaat dari kebijakan pemerintah sebelumnya.
RUU Akhirnya Disahkan
Di tengah polemik yang terus memanas, Senat AS akhirnya menyetujui RUU “One Big Beautiful Bill” dengan suara tipis. RUU tersebut lolos setelah Wakil Presiden JD Vance memberikan suara pemecah kebuntuan, menghasilkan skor 51-50.
Menariknya, tiga senator dari Partai Republik—Thom Tillis (North Carolina), Susan Collins (Maine), dan Rand Paul (Kentucky)—memilih untuk menolak RUU tersebut, dan bergabung dengan seluruh 47 senator dari Partai Demokrat.
Meskipun RUU disahkan, perpecahan di dalam Partai Republik serta konflik terbuka dengan tokoh penting seperti Elon Musk menunjukkan bahwa dampaknya masih jauh dari selesai.
Perseteruan antara Donald Trump dan Elon Musk bisa menjadi penanda perubahan arah dalam lanskap politik dan industri di Amerika Serikat. Dari yang awalnya saling mendukung, kini keduanya berseberangan secara terbuka.
Ancaman Trump untuk mendeportasi Musk mungkin belum tentu bisa dijalankan secara hukum, tetapi cukup untuk menunjukkan bagaimana tekanan politik bisa dengan cepat berubah menjadi personal.
Seiring RUU kontroversial ini mulai dijalankan, publik dan pengamat dunia menantikan bagaimana kelanjutan hubungan antara pemimpin negara dan tokoh teknologi paling berpengaruh di dunia ini. Apakah ini akan menjadi awal dari perang terbuka atau justru memaksa keduanya untuk mencari titik damai? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(fnf)
Tinggalkan Komentar