Siapa Sangka? AS Diam-Diam Gunakan Model AI Open-Source buatan China

⁠Adimas Herviana . December 03, 2025

Foto: Global Finance

Teknologi.id - Perang teknologi antara Amerika Serikat (AS) dan China selama ini digambarkan sebagai peternation untuk memperebutkan dominasi global. AS menuduh China sebagai ancaman, sementara China berusaha menunjukkan diri sebagai kekuatan baru melalui, teknologi, inovasi dan kecerdasan buatan (AI). Namun sebuah fakta mengejutkan muncul bahwa banyak perusahaan teknologi asal AS ternyata diam-diam menggunakan model AI Open-Source buatan asal China.

Fisikawan dan insinyur machine learning, Misha Laskin, menjelaskan bahwa startup dan perusahaan AI di Silicon Valley semakin bergantung pada model gratis dari China. Model-model ini seperti, Qwen milik Alibaba dan DeepSeek R1, terbukti tidak jauh tertinggal dari frontier teknologi. Bahkan, kualitasnya mendekati model tertutup buatan Open AI dan Google.

Daya Tarik Model AI China, Murah, Cepat dan Kompetitif

Alasan utama perusahaan AS melirik model AI China adalah faktor biaya. Model Open-Source dapat diunduh, dimodifikasi dan dijalankan di infrastruktur sendiri tanpa biaya lisensi besar. Hal ini berbeda dengan model tertutup milik OpenAI atau Anthropic yang hanya bisa diakses melalui pusat data dengan biaya tinggi. 

Menurut laporan CNBC, unduhan model AI terbuka asal China mencapai 17%, melampaui model AS yang hanya mencapai 15,8%. Angka ini menunjukkan bahwa adopsi global terhadap model China semakin meluas. Dengan harga murah dan fleksibilitas tinggi model ai Cina menjadi pilihan cepat bagi banyak perusahaan.

Baca Juga: Trobosan Baru China dengan Data Center Bawah Laut

Raksasa AI AS vs Model Open-Source China

Perkembangan AI ini menimbulkan dilema besar bagi industri AI di AS. Investor telah menggelontorkan puluhan miliar dolar ke perusahaan raksasa seperti OpenAI dan Anthropic dengan harapan mereka mendominasi pasar global. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak perusahaan justru beralih ke model Open-Source China yang lebih fleksibel dan efisien. 

Think Tank International, mencoba menjelaskan dengan menyoroti resiko “AI Bubble” di AS. Jika pasar lebih milih solusi mudah dan terbuka dari China, investasi besar pas pada model tertutup bisa runtuh. Pertanyaan pun muncul, “Apakah investasi besar ini benar-benar sejalan dengan kebutuhan industri, atau justru menjadi beban di tengah perubahan tren?”.

Dominasi China dengan Open-Source AI

China tampaknya memainkan strategi berbeda. Allih-alih membatasi akses mereka justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapa saja yang akan menggunakan model AI mereka. Strategi ini bukan hanya memperluas adopsi tapi juga memperkuat pengaruh China di ekosistem teknologi global. 

Dengan model seperti R1 dari DeepSeek dan Qwen milik Alibaba, China berhasil menciptakan ekosistem AI yang rapih dan terbuka, memungkinkan inovasi berkembang lebih cepat. Hal ini kontras dengan pendekatan AS yang menutup akses dan mengendalikan jalur distribusi.

Keuntungan  Exa Gunakan Model  AI dari China

Salah satu contoh nyata dari perusahaan pencarian berbasis AI bernama Exa. Head of Machine Learning, Michael Fine, menjelaskan bahwa Open-Source China lebih murah dan cepat dibandingkan menggunakan GPT-5 dari OpenAI maupun Gemini milik Google.

Menurut Fine, satu-satunya cara untuk mendapatkan modal yang lebih efisien adalah dengan menggunakan sistem tertutup dengan model terbuka, lalu menjalankannya di infrastruktur sendiri. Langkah ini bukan hanya menghemat biaya tapi juga memberi kontrol penuh atas teknologi yang digunakan.

Masa Depan AI Global Milik Siapa?

Pertanyaan besar pun muncul, “Apakah masa depan AI akan dikuasai oleh model tertutup yang mahal, atau justru oleh modal terbuka yang inklusif?”.

Jika tren terus berlanjut, bukan tidak mungkin dominasi AS dalam industri AI akan terus tergeser oleh China. Paradoks ini semakin menarik karena AS selama ini menuduh China sebagai ancaman, namun kini justru bergantung pada produk yang berasal dari mereka.

Baca Juga: China Duga US Sadap Data Mereka

Perang Teknologi Masa Depan

Perang teknologi antara AS dan China kini memasuki babak baru yang kian memanas. Di satu sisi, AS berusaha mempertahankan dominasi melalui investasi besar pada model tertutup. Di sisi lain, China justru memperluas pengaruhnya dengan strategi Open-Source yang lebih murah, cepat serta praktis. 

Pragmatisme seringkali mengalahkan ideologi. Perusahaan akan memilih solusi yang paling efisien, meskipun itu berarti menggunakan teknologi dari “lawan” geopolitik mereka.

Apakah ini tanda bahwa masa depan AI belum akan lebih terbuka tanpa pengaruh dan kontrol? Atau justru akan memicu persaingan yang lebih panas?


Baca Berita dan Artikel lainnya di Google News


(dim/sa)



author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar