Sumber: CNN
Teknologi.id - Kamu pernah mikir nggak, gimana rasanya jadi orang super kaya tapi justru ogah meninggal dalam keadaan tajir melintir? Bukan karena takut warisan rebutan, tapi karena ingin memastikan kekayaan itu benar-benar punya arti. Well, itu bukan cerita fiksi. Ini kisah nyata dari salah satu manusia paling berpengaruh di era modern: Bill Gates.
Pendiri Microsoft ini baru saja mengumumkan bahwa dirinya akan menutup Bill & Melinda Gates Foundation pada 31 Desember 2045. Yap, lembaga filantropi pribadi terbesar di dunia itu akan ditutup… bukan karena bangkrut, tapi karena misi kemanusiaannya akan selesai. Alasannya? Satu kalimat yang bikin banyak orang tertegun: “Saya tidak ingin mati dalam keadaan kaya.”
Baca juga: Meski AI Semakin Canggih, Bill Gates Prediksi 3 Profesi Ini Tetap Relevan dan Aman
Bukan Cuma Bagi-Bagi Duit, Tapi Punya Misi Besar
Didirikan pada tahun 2000 oleh Bill dan mantan istrinya, Melinda French Gates, Bill & Melinda Gates Foundation bukan sekadar lembaga amal biasa. Mereka punya misi besar: memperkecil ketimpangan global, terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan. Bayangin, yayasan ini udah membantu memberantas penyakit berbahaya seperti polio, mendorong akses pendidikan di negara-negara berkembang, hingga memperkuat ketahanan pangan di Afrika.
Selama lebih dari dua dekade, Gates Foundation udah nyalurin dana lebih dari US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.650 triliun). Tapi Bill Gates belum puas. Target barunya: menggandakan angka itu jadi US$ 200 miliar sampai 2045. Semua harta pribadinya akan digelontorkan, bukan buat beli jet pribadi atau koleksi pulau, tapi buat bantu manusia lain hidup lebih layak.
99 Persen Harta Disumbang? Siapa yang Lakukan Itu?
Di tengah dunia di mana banyak miliarder saling adu kekayaan, Bill Gates justru melakukan hal yang out of the box. Ia bilang dengan terang-terangan kalau 99 persen kekayaannya bakal disumbangkan. Saat ini saja, per Mei 2025, kekayaan bersih Gates mencapai US$ 168 miliar (Rp 2.774 triliun), menjadikannya orang terkaya kelima di dunia menurut Bloomberg Billionaires Index.
Namun, Gates tidak tertarik mempertahankan posisi itu. Ia lebih memilih menyumbangkan hartanya dalam 20 tahun ke depan untuk membiayai program-program penyelamatan nyawa, peningkatan pendidikan, dan penanggulangan krisis global.
Gates menulis, “Saya tidak bisa membayangkan cara yang lebih baik untuk menggunakan sumber daya saya selain untuk menyelamatkan dan meningkatkan kehidupan.”
Terinspirasi dari Andrew Carnegie dan Gerakan Giving Pledge
Keputusan ini bukan datang tiba-tiba. Gates sudah memikirkannya sejak lama. Bahkan, tahun 2010, ia bersama Melinda dan Warren Buffett memulai gerakan Giving Pledge, yang mengajak para miliarder dunia untuk menyumbangkan setidaknya separuh dari kekayaan mereka untuk amal.
Inspirasi besarnya datang dari esai klasik karya Andrew Carnegie, seorang industrialis dan filantropis abad ke-19. Carnegie menulis, “Orang yang mati dalam keadaan kaya, mati dalam kehinaan.” Kalimat ini membekas di hati Gates sejak muda. Ia yakin, kekayaan yang ia miliki adalah tanggung jawab, bukan sekadar kebanggaan.
Pensiun? Nggak Ada di Kamus Bill Gates
Tahun 2025, Gates menginjak usia 70 tahun, dan Microsoft, perusahaan yang ia dirikan, merayakan ulang tahun ke-50. Tapi jangan salah, di usia yang bagi sebagian orang adalah waktu pensiun, Gates justru tambah semangat kerja.
Dalam blog pribadinya, ia bilang bahwa dirinya masih ingin mengisi hari-hari dengan membaca strategi, berdiskusi dengan mitra, dan melakukan perjalanan ke berbagai penjuru dunia. Bagi Gates, selama masih diberi waktu, tubuh, dan pikiran yang sehat, maka masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk memberi manfaat bagi orang lain.
Refleksi Pribadi: Makin Tua, Makin Sadar
Keputusan untuk mempercepat penyumbangan hartanya bukan sekadar soal angka, tapi juga hasil dari proses perenungan panjang. Gates menyadari bahwa waktu adalah sumber daya yang jauh lebih berharga daripada uang. Dan dunia sedang menghadapi berbagai tantangan berat yang nggak bisa ditunda-tunda: krisis iklim, pandemi, kelaparan, dan ketidaksetaraan yang makin tajam.
Daripada menunggu sampai usia terlalu senja dan meninggalkan dana abadi yang mungkin kehilangan dampaknya karena proses birokrasi atau perubahan zaman, Gates memilih menyelesaikan misinya semasa hidup. “Jika yayasan bisa punya dampak lebih besar dengan mempercepat donasi, kenapa harus menunggu?” tulisnya.
Kritik Tajam untuk Negara-Negara Maju
Di balik langkah besar ini, Gates juga menyuarakan kritik keras terhadap negara-negara kaya yang justru memangkas anggaran bantuan luar negeri. Padahal, menurutnya, ketika negara-negara berkembang tidak dibantu, maka ketimpangan global akan makin besar, dan akhirnya berdampak juga pada stabilitas dunia.
“Filantropi bukan soal bersikap optimis. Ini soal kewajiban moral. Jika kamu tidak percaya pada masa depan, apakah kamu akan memilih beli kapal pesiar? Atau judi? Saya memilih menginvestasikan uang ini untuk harapan yang lebih besar,” ujarnya tegas.
Baca juga: Membongkar Rahasia Kesuksesan Bill Gates dan Perusahaan Microsoft
Kaya Itu Soal Dampak, Bukan Nominal
Dengan keputusan ini, Bill Gates mungkin akan terlihat “miskin” secara finansial di akhir hidupnya. Tapi secara makna, dia justru mencapai bentuk kekayaan yang lebih tinggi: dihormati karena kontribusinya bagi umat manusia.
Apa yang dilakukan Gates menunjukkan bahwa kekayaan sejati bukan terletak pada jumlah nol di rekening, tapi pada seberapa besar kita bisa mengubah hidup orang lain menjadi lebih baik.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(mo)
Tinggalkan Komentar