
Teknologi.id - Persaingan di dunia teknologi, khususnya dalam bidang kecerdasan buatan (AI), makin hari makin sengit. Para raksasa teknologi berlomba-lomba merekrut talenta terbaik untuk memperkuat posisi mereka di pasar AI yang terus berkembang. Salah satu bukti nyata dari persaingan ini datang dari Google yang memilih untuk membayar karyawannya agar tidak bekerja—alias "menganggur" selama setahun penuh. Tujuannya? Mencegah mereka pindah ke pesaing seperti Microsoft atau OpenAI.
Strategi Tak Biasa: Liburan Setahun Penuh dengan Gaji
Langkah tak biasa ini diterapkan oleh DeepMind, divisi kecerdasan buatan milik Google yang berbasis di Inggris. Menurut laporan Business Insider, sejumlah staf AI di DeepMind diminta untuk menandatangani perjanjian non-kompetisi yang sangat ketat. Dalam kontrak tersebut, mereka dilarang bekerja di perusahaan pesaing selama 12 bulan, namun tetap menerima gaji secara penuh.
Sekilas, terdengar seperti tawaran menarik—libur panjang sambil tetap digaji. Namun di balik itu, banyak karyawan merasa langkah ini membatasi kebebasan mereka dalam mengambil keputusan karier. Mereka terjebak dalam situasi serba salah: tidak bisa pindah ke tempat lain, tapi juga tidak diberi ruang untuk berkembang di tempat kerja sekarang.
Banyak Karyawan Mengeluh, Microsoft Buka Suara
Situasi ini bahkan menarik perhatian dari kompetitor langsung Google, yakni Microsoft. Nando de Freitas, Wakil Presiden Divisi AI di Microsoft, mengaku bahwa ia sering dihubungi oleh karyawan DeepMind yang merasa frustrasi karena tidak bisa keluar dari kontrak tersebut.
Melalui akun X (dulu Twitter), Nando menuliskan:
“Setiap minggu ada karyawan DeepMind yang menghubungi saya, putus asa, menanyakan cara keluar dari kebijakan ini. Mereka juga minta dicarikan pekerjaan karena manajer mereka bilang itu satu-satunya jalan untuk naik jabatan. Tapi saya tidak bisa membantu.”
Cuitan tersebut diunggah pada 26 Maret 2025 dan langsung menarik perhatian banyak pihak. Nando juga mengimbau agar para staf DeepMind saling mendukung dan berani berbicara secara langsung dengan pimpinan mereka.
Baca juga: Google Rilis Fitur Pendeteksi Penipuan, Ditenagai AI
Kontrak Non-Kompetitif Dikritik: Penyalahgunaan Kekuasaan?
Lebih jauh, Nando mengecam praktik perjanjian non-kompetitif yang diterapkan perusahaan asal Amerika seperti Google terhadap karyawannya di Eropa. Ia menilai hal tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang tidak semestinya dilakukan, apalagi di luar wilayah yurisdiksi asal perusahaan.
“Jangan tandatangani kontrak seperti ini. Tidak ada perusahaan Amerika yang seharusnya punya kuasa sebesar itu di Eropa. Ini adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan, dan tidak ada tujuan yang bisa membenarkan cara seperti ini,” tegasnya.
Pernyataan ini membuka kembali perdebatan soal etika dalam hubungan kerja antara perusahaan teknologi besar dan karyawannya—terutama dalam industri yang sangat kompetitif seperti AI.
Mengapa Google Melakukan Ini?
Alasan utama Google memilih strategi ini tak lain adalah untuk menjaga agar talenta terbaiknya tidak jatuh ke tangan pesaing. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan seperti OpenAI dan Microsoft telah berkembang pesat dalam teknologi AI, terutama setelah keberhasilan model seperti ChatGPT dan integrasi AI ke dalam layanan mereka.
Google tidak ingin tertinggal, dan untuk itu mereka harus memastikan bahwa para ahli terbaiknya tetap berada dalam ekosistem Google—atau setidaknya tidak memperkuat pesaing langsung.
Namun, langkah ini tetap menuai pro dan kontra. Di satu sisi, Google dianggap pintar menjaga aset manusianya. Di sisi lain, banyak yang menilai praktik seperti ini sebagai bentuk kontrol berlebihan terhadap kebebasan individu dalam memilih jalan karier.
Apa Dampaknya bagi Dunia Kerja?
Fenomena ini menjadi cerminan dari bagaimana ketatnya persaingan dalam industri AI saat ini. Talenta di bidang ini menjadi sangat berharga, bahkan hingga perusahaan rela membayar mereka untuk tidak bekerja. Namun, ini juga menimbulkan pertanyaan besar: sejauh mana perusahaan boleh mengatur hidup profesional seseorang, bahkan ketika ia tidak sedang bekerja?
Kasus Google dan DeepMind ini mungkin hanyalah permulaan dari tren baru di industri teknologi, di mana "liburan berbayar" bukan lagi fasilitas, melainkan strategi bisnis. Meski terlihat menguntungkan, kebijakan seperti ini bisa berdampak negatif jika tidak disertai perlindungan hukum dan etika yang jelas.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(dwk)
Tinggalkan Komentar