Jangan Curhat ke AI Lagi! Psikolog Ungkap Bahaya Mental yang Mengintai

I Putu Eka Putra Sedana . July 22, 2025

Teknologi.id - Teknologi AI memang mempermudah hidup, tapi apakah aman untuk kesehatan mental? Para ahli memperingatkan bahwa curhat ke chatbot seperti ChatGPT bisa berdampak buruk bagi kondisi psikologis pengguna. Di balik respons hangat yang diberikan AI, tersembunyi potensi bahaya yang mengancam kesejahteraan mental.

AI Bukan Pengganti Interaksi Manusia

AI bisa menjadi alat yang ampuh, tetapi tidak dapat menggantikan interaksi manusia yang sesungguhnya, baik personal maupun profesional,” ujar Vaile Wright, psikolog dan peneliti dari American Psychological Association (APA).

Pernyataan ini menjadi semakin relevan di tengah tren meningkatnya pengguna yang mencurahkan isi hati kepada chatbot. ChatGPT dan teknologi sejenis yang awalnya dirancang untuk meningkatkan produktivitas kini justru menjadi “teman virtual” bagi jutaan orang.

Namun menurut Wright dan para psikolog lainnya, kedekatan emosional dengan bot tidak dapat dipertanggungjawabkan secara psikologis. Interaksi tersebut bisa menimbulkan ilusi hubungan yang menenangkan, tapi justru menyesatkan.

Baca juga: Siap-Siap! 92 Juta Pekerjaan Hilang, Ini 10 Profesi Paling Dicari 2030

Kenapa Banyak Orang Nyaman Curhat ke Chatbot?

Laporan dari detik.com menunjukkan bahwa banyak pengguna di Indonesia memilih chatbot sebagai tempat bercerita saat stres, kesepian, atau membutuhkan validasi. Tanpa risiko dihakimi dan tersedia 24 jam, AI seolah menjadi pendengar ideal.

Namun menurut Wright, ada dilema besar di balik kenyamanan ini.

“Chatbot dibuat untuk membuat pengguna tetap berada di platform selama mungkin karena itulah cara mereka menghasilkan uang,” jelasnya.

AI dirancang untuk memberikan respons menyenangkan, bukan bantuan psikologis. Ini menjadi berbahaya saat pengguna rentan justru mencari dukungan yang salah.

AI Bisa Memperkuat Pemikiran yang Salah

“Bot-bot ini pada dasarnya memberi tahu orang-orang apa yang ingin mereka dengar,” lanjut Wright.

Bayangkan seseorang yang merasa putus asa lalu berkata, “Hidupku tidak berarti.” Chatbot mungkin menjawab, “Kamu unik dan dunia butuh kamu.” Meskipun terdengar positif, pesan ini gagal menangkap kedalaman krisis yang sedang terjadi.

Bahkan dalam skenario ekstrem, seperti saat pengguna menyebut ingin menggunakan narkoba legal untuk mengatasi depresi, AI bisa menanggapinya secara impulsif.

“Sayangnya, chatbot tahu bahwa penggunaan narkoba legal bisa membuat orang merasa lebih baik. Tapi AI tidak mengerti bahwa itu bukan solusi bagi orang dalam pemulihan,” imbuh Wright.

AI Punya Pengetahuan, Tapi Tak Punya Empati

Inilah kelemahan utama AI: ia tahu banyak, tapi tidak mengerti makna di balik kata-kata.

AI memilih respons berdasarkan statistik, bukan konteks pribadi. Padahal dalam psikoterapi, kata, intonasi, hingga gestur memiliki makna yang dalam. Psikolog memahami manusia secara holistik — sesuatu yang tidak bisa ditiru oleh algoritma.

Hasil dari percakapan dengan AI bukanlah terapi, tapi simulasi obrolan yang hangat namun kosong.

AI Tidak Bisa Menggantikan Hubungan Antar Manusia

Meski AI semakin canggih, para ahli sepakat bahwa hubungan emosional yang tulus hanya bisa terjadi antara manusia. Chatbot tidak bisa memahami emosi, merespons perubahan suasana hati, atau mendeteksi risiko psikologis secara utuh.

Bahkan studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa pengguna yang terlalu sering berinteraksi dengan AI cenderung menarik diri dari kehidupan sosial, memperparah rasa kesepian.

Baca juga: CEO Perplexity AI: Dua Pekerjaan Ini Bakal Digantikan AI dalam 6 Bulan Lagi!

Jadi, Haruskah Kita Berhenti Curhat ke Chatbot?

Mengandalkan AI untuk curhat bukanlah solusi sehat. Percakapan emosional memerlukan empati, pemahaman, dan kehadiran manusia. Sebelum berbagi isi hati dengan algoritma, tengoklah sekitar.

Cari teman bicara, keluarga, atau tenaga profesional. Karena yang menyembuhkan bukan respons cepat, tapi hubungan yang bermakna.

Bonus: Waspadai AI Anxiety di Tempat Kerja

Kemajuan teknologi, termasuk AI, juga menyebabkan tekanan psikologis di lingkungan kerja. Banyak karyawan merasa cemas akan digantikan mesin, mengalami AI anxiety, dan tertekan secara emosional.

Kesadaran ini penting agar kita tidak hanya melihat AI sebagai solusi instan, tetapi juga memahami dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan mental.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(ipeps)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar