Jurusan Ilmu Komputer Dulu Primadona, Kini Lulusannya Terancam AI

Aisyah Khoirunnisa' . August 11, 2025
Foto: detikcom


Teknologi.id – Selama bertahun-tahun, jurusan Ilmu Komputer dianggap sebagai tiket emas menuju masa depan cerah: gaji tinggi, bonus besar, dan peluang karier yang stabil. Pada sekitar tahun 2012, lulusan Ilmu Komputer di Amerika Serikat (AS) bisa langsung mendapatkan gaji enam digit disertai bonus dan saham, bahkan segera setelah wisuda.

Namun, janji manis itu kini mulai memudar. Kecerdasan buatan (AI) yang semakin canggih mampu menghasilkan kode hanya dalam hitungan detik, membuat lulusan baru menghadapi tantangan karier yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Baca juga: CEO Nvidia Ungkap: Kalau Saya 20 Tahun, Saya Pilih Jurusan Ini, Bukan Ilmu Komputer!

AI Menggeser Peran Pemrograman Manual

Dulu, kemampuan coding dianggap sebagai keterampilan paling aman untuk menjamin pekerjaan. Universitas pun berlomba-lomba membuka program Ilmu Komputer, sehingga jumlah mahasiswa jurusan ini di AS meningkat lebih dari dua kali lipat antara 2014–2024.

Namun, perkembangan AI generatif dan alat pemrograman otomatis kini mengancam peran pemrogram tingkat pemula. Tugas-tugas coding dasar yang dulunya dikerjakan manusia, sekarang dapat diotomatisasi sepenuhnya, mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja baru di bidang ini.

Lonjakan PHK dan Tingkat Pengangguran Tinggi

Bukan hanya AI yang menjadi tantangan. Gelombang PHK massal di perusahaan teknologi raksasa seperti Amazon, Intel, Meta, dan Microsoft memperparah kondisi pasar kerja.

Data Federal Reserve Bank of New York mencatat:

  • Tingkat pengangguran lulusan Ilmu Komputer: 6,1% (dua kali lipat dibanding lulusan Biologi atau Sejarah Seni).

  • Tingkat pengangguran lulusan Teknik Komputer: 7,5%.

Situasi ini membuat banyak lulusan kesulitan mendapatkan pekerjaan pertama mereka di industri teknologi.

Proses Rekrutmen Kini Dikuasai AI

Tantangan lain datang dari proses perekrutan yang semakin bergantung pada sistem AI. Mulai dari memindai CV, menyaring kandidat, hingga melakukan wawancara awal, semuanya bisa diotomatiskan.

Akibatnya, banyak pelamar menerima penolakan hanya dalam hitungan menit, bahkan sebelum manusia sempat menilai kemampuan mereka.

Contoh nyata:

  • Lulusan Universitas Purdue melamar pekerjaan teknologi selama setahun dan hanya mendapat satu wawancara—di sebuah restoran, bukan perusahaan teknologi.

  • Lulusan Oregon State mengirim 5.762 lamaran kerja dan semuanya ditolak.

Pesan untuk Calon Mahasiswa: Adaptasi atau Tertinggal

Realitas ini membawa pesan penting bagi calon mahasiswa Ilmu Komputer: menguasai coding saja tidak cukup.

Keahlian masa depan ada pada bekerja bersama AI, bukan melawannya. Keterampilan yang dibutuhkan antara lain:

  • Pemikiran kritis

  • Pemecahan masalah kompleks

  • Kreativitas

  • Kolaborasi lintas disiplin

Dengan kombinasi ini, lulusan dapat memanfaatkan AI sebagai alat produktivitas, bukan ancaman.

Baca juga: Matt Deitke, Ilmuwan 24 Tahun yang Dibayar Rp4 Triliun oleh Meta untuk AI Super

Kesimpulan

Jurusan Ilmu Komputer tidak lagi menjamin masa depan yang sama seperti satu dekade lalu. Otomatisasi AI, PHK besar-besaran, dan rekrutmen berbasis AI telah mengubah peta karier teknologi.

Bagi generasi berikutnya, sukses di bidang ini membutuhkan lebih dari sekadar keterampilan teknis—dibutuhkan adaptasi cepat, inovasi, dan kemampuan berpikir strategis. Di era AI, keahlian manusia yang unik akan menjadi pembeda utama di dunia kerja.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(ak)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar