
Teknologi.Id – Memasuki dunia kerja setelah lulus kuliah memang selalu menjadi fase penuh tantangan. Namun, bagi lulusan ilmu komputer dan bidang teknologi sejenis, rintangan itu kini terasa lebih berat dibanding beberapa tahun lalu.
Di tengah gempuran teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, banyak lulusan baru merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan pertama mereka. Fenomena ini tidak hanya dialami di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Kisah Eddie Hart, lulusan ilmu komputer dan keamanan siber dari Universitas Newcastle pada 2024, menjadi salah satu contoh nyata. Ia mengaku sudah tahu bahwa mencari pekerjaan di bidang teknologi tidak akan mudah, tapi tetap terkejut ketika kenyataannya jauh lebih sulit dari bayangan.
“Bahkan ketika lowongan junior dibuka, syaratnya sering meminta pengalaman kerja dua tahun atau lebih. Itu tidak realistis dan membuat kandidat potensial enggan melamar,” kata Hart.
Baca juga: CEO Nvidia Ungkap: Kalau Saya 20 Tahun, Saya Pilih Jurusan Ini, Bukan Ilmu Komputer!
AI: Membantu Perusahaan, Tapi Jadi Tantangan untuk Lulusan Baru
Perusahaan teknologi kini semakin bergantung pada AI, baik dalam rekrutmen maupun pengerjaan tugas-tugas pemrograman dasar.
Tugas-tugas sederhana yang dahulu sering diberikan kepada karyawan junior, kini dialihkan ke sistem otomatis. Hart menilai kondisi ini merugikan generasi baru pengembang.
“Mengganti manusia sepenuhnya dengan AI tidak berkelanjutan,” ujarnya.
AI memang efisien, tetapi jika semua pekerjaan level dasar diserahkan ke mesin, dari mana lulusan baru bisa membangun pengalaman?
Sebuah laporan dari Yayasan Nasional untuk Penelitian Pendidikan Inggris menunjukkan adanya penurunan 50% iklan lowongan kerja teknologi antara 2019/20 hingga 2024/25. Menariknya, posisi level pemula (entry level) menjadi yang paling terimbas.
Salah satu alasannya adalah “dampak AI yang diantisipasi.”
Perekrutan Kian Sulit: CV Harus “Ramah AI”
Tantangan lain muncul dari sistem rekrutmen berbasis AI. Banyak perusahaan besar kini menggunakan perangkat lunak untuk menyaring CV maupun jawaban wawancara daring.
Colin, lulusan ilmu komputer lainnya di 2024, mengaku frustrasi. Ia menjalani hampir setahun proses rekrutmen di sebuah perusahaan besar, namun hasilnya nihil. Bahkan perusahaan kecil pun, katanya, sudah menggunakan sistem penyaring otomatis.
“CV harus dirancang agar ramah AI. Sayangnya, ketika akhirnya wawancara, pewawancara seolah tidak membaca CV saya sama sekali,” keluhnya.
Hart juga punya pengalaman serupa. Ia pernah menjalani proses seleksi delapan tahap, dimulai dari 20 soal gaya ujian tentang dirinya. Setelah itu, ia harus merekam jawaban wawancara, yang kemudian dianalisis AI.
“Rasanya tidak manusiawi, bahkan ditolak pun bukan oleh manusia,” katanya.
Dampak Pasar Kerja: Senior Dibutuhkan, Junior Terabaikan
Ironisnya, posisi senior di bidang teknologi masih terbuka lebar. Namun, tanpa jalur masuk bagi talenta muda, siapa yang kelak mengisi peran tersebut?
Paul Dix, CTO sekaligus pendiri InfluxData, memperingatkan:
“Jika tidak ada yang mempekerjakan pengembang junior, maka dalam beberapa tahun ke depan tidak akan ada pengembang senior. Jalur pengembangan talenta akan terputus.”
Rajiv Ramaswami, CEO Nutanix, menambahkan perspektif berbeda. Menurutnya, banyak lulusan muda justru lebih terbiasa dengan AI dibanding cara pemrograman tradisional.
“Pasar talenta sebenarnya sedang berada di titik terbaik,” katanya optimistis.
Data Menarik: Antara Ketakutan dan Optimisme
Riset dari Stack Overflow memberikan gambaran kondisi yang paradoks. Hampir setengah pengembang perangkat lunak menggunakan alat kode berbasis AI setiap hari, namun hanya sepertiga yang benar-benar percaya pada hasilnya.
CEO Stack Overflow, Prashanth Chandrasekar, menilai kondisi ini sebagai masa transisi yang penuh tantangan.
“Ini memang waktu yang sulit untuk lulus,” ujarnya.
Meski begitu, ia menambahkan bahwa setiap gelombang disrupsi teknologi sebelumnya juga menimbulkan kekhawatiran serupa, tapi pada akhirnya justru membuka lebih banyak peluang kerja baru.
Masa Depan Karier Lulusan Ilmu Komputer
Lulusan baru tidak bisa mengandalkan jalur konvensional semata. Beberapa strategi yang bisa dipertimbangkan antara lain:
-
Bangun portofolio nyata – Proyek pribadi, kontribusi ke open source, atau freelance bisa menjadi nilai tambah besar.
-
Kuasai AI, bukan lawan – Lulusan yang mampu memanfaatkan AI sebagai alat bantu akan lebih menarik di mata perusahaan.
-
Jalin jaringan profesional – Banyak pekerjaan teknologi diperoleh lewat rekomendasi, bukan sekadar lamaran daring.
-
Kembangkan soft skill – Komunikasi, kolaborasi, dan pemahaman bisnis kini sama pentingnya dengan keterampilan teknis.
-
Cari jalur alternatif – Startup atau perusahaan kecil bisa menjadi titik masuk sebelum menuju perusahaan besar.
Baca juga: Apa itu Algoritma dalam Ilmu Komputer? Ini Penjelasannya
Jalan Masih Panjang, Tapi Harapan Tetap Ada
Tidak bisa dipungkiri, AI telah mengubah peta industri teknologi dan membawa tantangan baru, khususnya bagi lulusan ilmu komputer yang sedang mencari pekerjaan pertama.
Posisi junior semakin terbatas, sementara ekspektasi perusahaan justru meningkat. Namun, sejarah membuktikan bahwa setiap gelombang teknologi selalu melahirkan peluang baru.
Mungkin benar, saat ini merupakan masa sulit bagi generasi muda di bidang teknologi. Tetapi, dengan adaptasi yang tepat, keterampilan yang relevan, dan sedikit kreativitas, pintu karier tetap terbuka.
Seperti kata Chandrasekar:
“Akan selalu ada kebutuhan tak terbatas untuk membangun hal-hal baru.”
Dan di situlah lulusan ilmu komputer berperan, bukan hanya sebagai pencari kerja, tetapi sebagai pencipta solusi di era AI.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(fnf)
Tinggalkan Komentar