Nike Digugat Rp84 Miliar karena NFT Sepatu Digital, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Mohammad Owen . May 04, 2025

Sumber: Freepik

Teknologi.id - Pada masa keemasan NFT sekitar tahun 2021 hingga 2022, banyak perusahaan besar berlomba masuk ke ranah Web3 dan aset digital. Salah satu yang paling aktif adalah Nike, melalui akuisisinya terhadap startup RTFKT Studios yang dikenal menciptakan sepatu digital berbasis NFT. Namun, hanya beberapa tahun setelahnya, Nike justru digugat senilai USD 5 juta atau sekitar Rp84 miliar oleh para kolektor NFT mereka sendiri.

Baca juga: Nike Hadir di Metaverse Melalui Swoosh, Ada Fitur Desain Sepatu Secara Virtual!

Gugatan ini bukan hanya soal kerugian finansial, tapi juga mempertanyakan komitmen jangka panjang brand besar terhadap proyek digital yang mereka promosikan. Mari kita bahas selengkapnya!

RTFKT: Inovasi Sepatu Digital dan NFT

RTFKT Studios (dibaca: “artifact”) adalah perusahaan yang memadukan dunia fashion, teknologi, dan blockchain. Didirikan pada tahun 2020, startup ini menawarkan berbagai produk digital berbasis NFT, termasuk sepatu dan avatar yang bisa digunakan di dunia metaverse. Produk paling terkenalnya adalah CloneX, avatar NFT hasil kolaborasi dengan seniman terkenal Takashi Murakami. NFT CloneX sempat menjadi perbincangan karena harganya bisa menembus puluhan hingga ratusan juta rupiah per item.

Popularitas RTFKT menarik perhatian Nike, yang kemudian mengakuisisi startup tersebut pada Desember 2021. Nike memosisikan langkah ini sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk masuk ke dunia digital fashion dan metaverse. Setelah akuisisi, Nike dan RTFKT meluncurkan produk seperti CryptoKicks, sepatu digital yang bisa dimodifikasi menggunakan NFT "skin vial" agar tampilannya unik di dunia virtual.

Penutupan Operasional RTFKT dan Kekecewaan Komunitas

Seiring dengan meredupnya euforia NFT pada 2023–2024, nilai banyak koleksi digital menurun drastis. Hal ini juga terjadi pada NFT keluaran RTFKT. Pada akhir 2024, Nike mengumumkan bahwa mereka akan menutup sebagian besar operasi RTFKT per 31 Januari 2025, termasuk mengurangi staf dan menghentikan beberapa layanan berbasis Web3.

Keputusan ini membuat banyak pemilik NFT RTFKT kecewa. Mereka merasa proyek yang sebelumnya dijanjikan akan terus dikembangkan justru dihentikan tanpa kejelasan. Beberapa mengaku membeli NFT tersebut karena percaya bahwa Nike akan terus memberikan manfaat dan meningkatkan nilai koleksi digital tersebut. Penutupan RTFKT dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap komunitas yang sudah berinvestasi sejak awal.

Gugatan Class Action: Dugaan Rug Pull dan Sekuritas Ilegal

Pada 25 April 2025, Jagdeep Cheema, seorang kolektor NFT, mengajukan gugatan class action ke pengadilan federal Brooklyn, New York. Ia mewakili pemilik NFT dari proyek-proyek seperti CloneX, CryptoKicks, dan pod virtual lainnya. Nilai gugatannya mencapai USD 5 juta.

Gugatan ini memiliki dua poin utama:

  1. Dugaan rug pull: Nike dan RTFKT dituduh melakukan promosi besar-besaran terhadap NFT mereka, menjanjikan keuntungan, eksklusivitas, serta dukungan jangka panjang. Namun, setelah komunitas menginvestasikan uang mereka, proyek tersebut ditinggalkan secara sepihak. Hal ini disebut sebagai bentuk “rug pull”, istilah dalam dunia kripto untuk menggambarkan situasi ketika pemilik proyek menghilang atau menghentikan proyek setelah mendapatkan keuntungan dari penjualan awal.

  2. Penjualan sekuritas yang tidak terdaftar: Para penggugat juga menuduh bahwa NFT yang dijual seharusnya dikategorikan sebagai sekuritas, karena dijual dengan janji keuntungan di masa depan. Karena tidak didaftarkan ke otoritas seperti Securities and Exchange Commission (SEC), maka transaksi ini dianggap ilegal menurut hukum sekuritas federal di Amerika Serikat.

Dampak Penutupan: Aset Digital yang Tidak Bisa Diakses

Setelah penutupan sebagian besar layanan RTFKT, banyak pemilik NFT kesulitan mengakses atau menggunakan konten mereka. Beberapa bahkan melaporkan bahwa akses ke platform RTFKT telah dibatasi oleh penyedia layanan seperti Cloudflare karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan layanan.

Hal ini memperkuat kekhawatiran bahwa NFT yang mereka beli kini tak hanya kehilangan nilai, tetapi juga tidak lagi memiliki fungsi atau aksesibilitas. Konten digital yang sebelumnya dipromosikan sebagai bagian dari ekosistem berkelanjutan kini praktis tidak bisa digunakan.

Apakah NFT Termasuk Sekuritas?

Pertanyaan besar yang muncul dari kasus ini adalah apakah NFT bisa dikategorikan sebagai sekuritas. Di Amerika Serikat, SEC menggunakan Howey Test untuk menentukan apakah suatu aset merupakan sekuritas. Kriterianya meliputi adanya investasi uang, harapan akan keuntungan, usaha yang dilakukan oleh pihak ketiga, dan keterlibatan dalam usaha bersama.

Jika NFT memenuhi kriteria tersebut, maka seharusnya terdaftar dan diatur seperti saham atau obligasi. Namun, sebagian besar proyek NFT hingga kini belum diatur dengan cara tersebut, karena dianggap sebagai barang koleksi digital atau karya seni.

Gugatan terhadap Nike bisa menjadi preseden penting dalam regulasi aset digital. Jika pengadilan menganggap bahwa NFT Nike memenuhi kriteria sekuritas, maka banyak proyek serupa mungkin akan menghadapi masalah hukum serupa.

Reaksi Nike dan Masa Depan Proyek NFT

Hingga artikel ini ditulis, Nike belum memberikan pernyataan resmi terkait gugatan tersebut. Perusahaan ini juga belum mengonfirmasi apakah akan melanjutkan pengembangan proyek Web3 lain di masa depan atau sepenuhnya mundur dari dunia NFT.

Di sisi lain, banyak investor dan komunitas Web3 mulai mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap proyek NFT, terutama yang didukung oleh perusahaan besar. Harapan terhadap dukungan jangka panjang, transparansi, dan nilai koleksi kini tidak cukup hanya berdasarkan reputasi merek.

Baca juga: Nike Kendalikan Self-Lacing Trainers Sendiri Lewat Ponsel

Kasus gugatan terhadap Nike ini menunjukkan bahwa meskipun NFT sempat menjadi simbol inovasi digital, aspek legal dan komitmen jangka panjang tetap menjadi faktor krusial. Brand besar seperti Nike pun tidak kebal dari tuntutan hukum jika dianggap gagal memenuhi janji terhadap konsumennya.

Peristiwa ini juga menjadi pengingat bahwa aset digital memerlukan regulasi yang jelas, serta edukasi yang memadai bagi konsumen agar mereka memahami risiko yang terlibat dalam setiap transaksi.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(mo)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar