
Foto: thejakartapost.com
Teknologi.id - Di tengah ledakan industri streaming dan konsumsi konten digital, para pencipta musik, film, dan seni secara ironis
sering kali hanya menerima bagian kecil dari miliaran dolar pendapatan yang
dihasilkan karya mereka. Sementara platform teknologi global seperti
Spotify dan YouTube meraup keuntungan substansial, royalti yang sampai ke
tangan kreator seringkali mengalami pemotongan signifikan akibat sistem
distribusi yang dinilai tidak transparan dan tidak adil. Merespons
ketidakadilan struktural ini, Indonesia mengambil peran kepemimpinan dengan
mengajukan proposal revolusioner di forum internasional untuk menuntut
perubahan aturan. Langkah strategis ini tidak hanya bertujuan melindungi
kreator domestik, tetapi juga menjadi seruan global agar hak ekonomi seni dan
kekayaan intelektual tidak lagi menjadi korban dominasi algoritma dan raksasa
data.
Indonesia Pimpin Perjuangan di Sidang WIPO Jenewa
Pemerintah Indonesia secara resmi mengajukan dokumen penting
berjudul "Proposal Indonesia untuk Instrumen Internasional yang Mengikat
Secara Hukum mengenai Tata Kelola Royalti Hak Cipta di Lingkungan Digital"
pada Senin, 1 Desember 2025. Proposal ini disampaikan dalam sidang Standing
Committee on Copyright and Related Rights (SCCR) di bawah naungan World
Intellectual Property Organization (WIPO) di Jenewa, Swiss. Sidang penting
yang berlangsung dari tanggal 1 hingga 5 Desember 2025 ini dihadiri oleh
delegasi dari 194 negara anggota WIPO.
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Wakil Menteri Luar Negeri
Arief Havas Oegroseno, didampingi oleh Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual
Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Hermansyah Siregar, serta Kepala Badan
Strategi Kebijakan Hukum Kemenkumham Andry Indradi. Inisiatif ambisius ini
telah digagas sejak Mei 2025 atas arahan Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi
Agtas. Tujuan utama proposal ini adalah menciptakan aturan yang mengikat
secara hukum (bukan sekadar soft law) untuk mengatasi ketimpangan
royalti digital, di mana para pencipta hanya menerima sebagian kecil dari total
pendapatan industri kreatif global yang bernilai lebih dari US$2,3 triliun per
tahun.
Baca juga: Swedia Jadi Pelopor! Lisensi Musik AI Pertama di Dunia untuk Lindungi Kreator
Tiga Pilar Utama Menjawab Ketidakadilan Struktural

Foto: mediaindonesia.com
Proposal Indonesia mengidentifikasi empat persoalan
struktural yang menjadi akar ketidakadilan dalam ekosistem royalti digital:
pertama, metadata fonogram dan audiovisual yang terfragmentasi; kedua,
ketergantungan pada model pembagian royalti yang dinilai tidak adil; ketiga,
perbedaan penilaian royalti yang signifikan antarnegara; dan keempat, tata
kelola distribusi yang sama sekali tidak transparan. Menurut estimasi gabungan
dari UNESCO dan Bank Dunia, sekitar US$55,5 miliar potensi royalti musik
dan audiovisual hilang setiap tahun akibat sistem yang rapuh ini.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, proposal Indonesia mengusulkan pembentukan instrumen yang mengikat secara hukum dengan tiga pilar mendasar:
2. Kewajiban Transparansi: Mewajibkan transparansi penuh pada proses lisensi, penggunaan, dan distribusi royalti lintas negara, termasuk pemberian akses data pemutaran global kepada para pencipta.
3. Mekanisme Akuntabilitas dan Sanksi: Pembentukan mekanisme pengawasan melalui audit internasional, disertai dengan sanksi hukum yang tegas bagi pelanggar, memastikan bahwa prinsip transparansi memiliki daya paksa.
Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno menekankan urgensi keadilan ini di hadapan sidang WIPO. "Seringkali, pencipta hanya menerima sebagian kecil dari pendapatan yang dihasilkan oleh karya mereka sendiri. Realitas ini bukan semata-mata persoalan ekonomi, melainkan persoalan keadilan, kewajaran, dan pengakuan moral," tegasnya.
Baca juga: YouTube Punya Fitur AI Baru untuk Bikin Musik Bebas Klaim Hak Cipta
Dampak Ekonomi dan Pesan Keadilan dari Indonesia
Proposal ini memiliki potensi besar untuk mengubah dinamika
industri kreatif digital global. Di pasar musik, di mana lebih dari 67%
didominasi streaming, pencipta hanya menerima potongan kecil. Bagi
Indonesia, dengan sistem royalti yang lebih adil dan akses data yang
transparan, nilai ekonomi musik dan audiovisual bisa meningkat triliunan rupiah
per tahun. Ini mencakup optimalisasi royalti yang selama ini tidak terealisasi
dan akses data negara konsumsi tertinggi.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas mengingatkan
bahwa akar persoalan royalti global adalah dominasi data. "Dalam ekosistem
digital, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai nilai."
Ia juga menambahkan bahwa tanpa adanya kewajiban hukum yang tegas dan sanksi,
transparansi hanya akan menjadi "komitmen moral yang tidak memiliki daya
paksa."
Langkah diplomasi ini menegaskan tanggung jawab negara untuk
melindungi hak ekonomi para kreatornya secara global. Di sela-sela sidang,
Indonesia telah melakukan pertemuan bilateral dengan berbagai kelompok seperti
GRULAC (Amerika Latin dan Karibia), Jepang, dan Amerika Serikat untuk membangun
dukungan. Supratman mengakhiri pesannya dengan optimisme, "Tetaplah
berkarya dan percayalah bahwa negara sedang memperjuangkan hak Anda, bukan
hanya di Jakarta, tetapi juga di hadapan dunia."
Pengajuan proposal ini menandai komitmen Indonesia untuk memimpin perjuangan demi terciptanya tatanan royalti digital yang lebih adil. Jika proposal ini mendapatkan dukungan luas, ia dapat menjadi katalisator perubahan struktural di industri kreatif, menciptakan dunia di mana pencipta tidak lagi sekadar menjadi penonton di pesta digital yang mereka ciptakan sendiri.
Baca juga: Spotify Luncurkan Fitur Messages: Cara Baru Berbagi Musik, Podcast, dan Audiobook
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(AA/ZA)

Tinggalkan Komentar