Di Balik AI Canggih, Ada Jutaan Buku yang Dihancurkan

Mohammad Owen . July 02, 2025

Sumber: Gülfer ERGİN / Unsplash

Teknologi.id - Di balik kecanggihan chatbot seperti ChatGPT dan Claude, tersimpan cerita yang mengejutkan dan juga sedikit ironis. Dunia kini menyaksikan kecerdasan buatan (AI) berkembang pesat, mampu menulis, berdiskusi, bahkan menciptakan puisi. Namun, siapa sangka bahwa salah satu bahan bakarnya adalah… jutaan buku cetak yang dihancurkan?

Baru-baru ini, fakta mencengangkan ini terungkap lewat dokumen pengadilan dalam kasus gugatan sekelompok penulis terhadap Anthropic, perusahaan AI asal Amerika Serikat. Gugatan yang dilayangkan sejak akhir 2024 itu menuding Anthropic melanggar hak cipta karena memindai dan menggunakan buku-buku mereka tanpa izin untuk melatih model AI bernama Claude, yang berfungsi mirip seperti ChatGPT milik OpenAI.

Dibeli, Dirusak, Dibuang

Berdasarkan dokumen pengadilan, Anthropic diketahui telah menghabiskan jutaan dolar AS untuk membeli buku cetak dan sebagian besar adalah buku bekas. Namun, alih-alih dibaca atau disimpan, buku-buku itu dilepas dari jilidnya, dipotong sesuai dimensi tertentu, lalu dipindai menjadi PDF. Setelah proses pemindaian, lembaran-lembaran buku itu dibuang, termasuk sampul dan jilidnya.

Ironisnya, tidak ada upaya konservasi atau digitalisasi untuk pelestarian. Yang dicari bukan isi secara nilai budaya atau sejarah, melainkan data yang didapatkan lewat cara yang disebut sebagian pihak sebagai "destruktif dan tak sensitif."

Kegiatan ini dimulai pada Februari 2024, ketika Anthropic merekrut Tom Turvey, mantan kepala kemitraan proyek Google Books. Tugasnya sangat ambisius: "mendapatkan semua buku di dunia." Meski metode seperti Google Books dulunya juga menuai pro dan kontra, setidaknya ada pertimbangan pelestarian dan keterbukaan. Dalam kasus Anthropic, skalanya besar, tujuannya komersial, dan pendekatannya murni pragmatis.

Baca juga: Kisah Abhinay Peddisetty dan Kesuksesan BukuWarung dalam Mendukung UKM di Indonesia

Sah, Tapi Masih Kontroversial

Di pengadilan, hakim William Alsup memutuskan bahwa tindakan Anthropic tergolong “wajar.” Menurutnya, karena buku-buku itu dibeli secara sah, proses pemindaian yang dilakukan secara destruktif juga bisa dianggap sebagai transformasi format yang menghemat ruang.

“Asisten AI seperti Claude dilatih bukan untuk menjiplak atau menggantikan karya, melainkan untuk menciptakan sesuatu yang baru,” tulis Alsup dalam putusannya pada 23 Juni 2025.

Namun keputusan itu bukan berarti Anthropic terbebas dari semua tuduhan. Alsup menegaskan bahwa penggunaan buku bajakan tetaplah pelanggaran hak cipta, dan jika terbukti, Anthropic bisa dikenakan denda atau ganti rugi, tergantung tingkat pelanggarannya.

Dari Buku Fisik ke Buku Bajakan

Yang membuat kasus ini makin rumit adalah pengakuan bahwa sebelum memindai buku fisik, tim Anthropic telah lebih dulu mengunduh 5 juta buku bajakan dari LibGen dan 2 juta dari Pirate Library Mirror (PirLiMi). Tindakan ini dilakukan oleh salah satu pendiri Anthropic, Ben Mann, sebagai bagian dari upaya mengumpulkan data sebanyak-banyaknya untuk pelatihan AI.

Langkah ini sempat menimbulkan kekhawatiran di internal perusahaan, terutama soal legalitas dan dampaknya jika terbongkar ke publik. Itulah sebabnya mereka akhirnya merekrut Turvey untuk membuat proses pemindaian buku jadi lebih formal dan dari dalam pandangan mereka sendiri bahwa ini lebih sah.

Namun, apakah tindakan itu bisa dibenarkan hanya karena akhirnya mereka membeli buku-buku fisik? Tidak semua pihak setuju.

Teknologi VS Etika

Di tengah euforia teknologi AI, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana inovasi bisa membenarkan pengorbanan? Buku, yakni simbol pengetahuan, sejarah, dan kreativitas manusia, kini dilihat sebagai sumber data, bukan lagi sebagai karya yang perlu dijaga.

Sementara itu, para penulis yang bukunya ikut diserap ke dalam model AI mengaku kehilangan kontrol atas karyanya. Mereka bukan menolak teknologi, tapi menuntut penghargaan terhadap hak cipta dan integritas karya.

Baca juga: Google Drive di Android Punya Fitur Baru, Buka File PDF Seperti Baca Buku

Kasus Anthropic ini memperlihatkan dilema besar di era AI: bagaimana menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan perlindungan hak intelektual. Di satu sisi, AI menjanjikan produktivitas dan efisiensi yang belum pernah ada sebelumnya. Tapi di sisi lain, fondasi yang menopangnya ternyata menyimpan praktik yang problematik dan bahkan disebut eksploitatif.

Jika tidak ada regulasi dan transparansi yang jelas, bukan tak mungkin kejadian seperti ini akan terus terulang. AI yang diharapkan membantu umat manusia, bisa saja dibangun di atas pengorbanan besar terhadap karya manusia itu sendiri.

Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.

(mo)

author0
teknologi id bookmark icon

Tinggalkan Komentar

0 Komentar