
Teknologi.id - Pemerintah mulai melirik aktivitas ekonomi yang berlangsung di media sosial seperti Instagram, TikTok, YouTube, hingga Facebook, yang selama ini menghasilkan uang tetapi belum masuk dalam cakupan pajak secara sistematis.
“Penggalian potensi itu melalui data analytic maupun media sosial,” ujar Anggito.
Meski begitu, ia belum merinci teknis pelaksanaannya. Namun, sinyalnya sudah sangat jelas: konten kreator, influencer, dan pelaku bisnis di media sosial akan masuk radar pajak mulai 2026.
Artinya, jika selama ini pajak baru menyasar marketplace seperti Shopee dan Tokopedia, ke depan kegiatan ekonomi yang terjadi langsung di platform media sosial juga akan menjadi objek pengawasan.
Apa Alasan Kemenkeu Kini Incar Pajak dari Media Sosial?
1. Ekonomi Digital Tumbuh Pesat
Selama beberapa tahun terakhir, media sosial telah berubah dari sekadar tempat berbagi konten menjadi wadah berbisnis dan mencari penghasilan. Influencer dengan jutaan pengikut bisa mengantongi miliaran rupiah per tahun dari endorsement, afiliasi, hingga jualan langsung. Namun, tidak semua dari penghasilan itu tercatat dan dilaporkan sebagai objek pajak. Di sinilah Kemenkeu melihat potensi besar yang selama ini belum dimanfaatkan.
2. Penerimaan Pajak Tahun Ini Menurun
Hingga pertengahan 2025, realisasi penerimaan pajak tercatat Rp837,8 triliun, turun 6,21 persen dibandingkan semester I tahun lalu. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk restitusi dan penerapan tarif PPN 11 persen. Oleh karena itu, memperluas basis pajak melalui sektor digital dan media sosial menjadi salah satu solusi untuk menutup celah tersebut.
Teknologi Jadi Kunci: Data Analitik dan Jejak Digital
Anggito menyebut bahwa langkah ini akan didukung penuh oleh pemanfaatan data analitik, jejak digital, dan teknologi informasi. Artinya, ke depan pemerintah akan melacak penghasilan yang diperoleh di media sosial berdasarkan data terbuka, baik dari algoritma platform maupun dari kerja sama lintas sektor.
Kegiatan seperti:
-
Endorsement produk oleh influencer
-
Jualan lewat live streaming
-
Konten afiliasi yang menghasilkan komisi
-
Iklan YouTube dan monetisasi TikTok
…semuanya akan berpotensi dipantau sebagai objek pajak.
Proyeksi dan Alokasi Anggaran untuk Program Ini
Kemenkeu telah mengusulkan anggaran sebesar Rp1,99 triliun untuk 2026 demi mendukung reformasi administrasi perpajakan, termasuk program pelacakan aktivitas ekonomi di media sosial.
Secara total, usulan pagu anggaran Kemenkeu tahun 2026 mencapai Rp52,017 triliun. Anggaran tersebut juga digunakan untuk enam kegiatan strategis Kemenkeu, termasuk:
-
Optimalisasi penerimaan negara melalui joint program antar lembaga
-
Penguatan proses bisnis pajak digital domestik dan luar negeri
-
Peningkatan PNBP sektor ekstraktif
-
Penguatan patroli dan laboratorium penegakan hukum lintas batas
-
Pengelolaan aset negara
-
Pengembangan sistem informasi mineral dan batubara (SIMBARA)
Baca Juga: Shopee, Tokopedia, dll Kini Wajib Pungut Pajak dari Toko Online di Platform Mereka
Belajar dari Aturan Pajak Marketplace: Apa yang Bisa Ditiru?
Langkah Kemenkeu memajaki media sosial bisa dibilang lanjutan dari keberhasilan penerapan pajak marketplace yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025.
Dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025, marketplace seperti Tokopedia, Shopee, TikTok Shop, dan Bukalapak diwajibkan memungut PPh 22 final sebesar 0,5% dari pedagang dalam negeri dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun.
Aturan ini membuat platform digital menjadi “pemungut pajak” atas transaksi yang berlangsung di dalamnya. Ke depan, bukan tidak mungkin platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube juga akan ditunjuk sebagai pemungut pajak dari konten kreator atau pelaku usaha yang mendapatkan penghasilan melalui platform mereka.
Tantangan Pajak Media Sosial: Siapa Saja yang Akan Terdampak?
Walaupun tujuannya mulia, yaitu memperluas basis penerimaan negara, rencana pajak media sosial juga menyimpan berbagai tantangan, seperti:
-
Transparansi penghasilan konten kreator, karena banyak pembayaran dilakukan langsung antar individu atau pihak luar negeri
-
Ketiadaan mekanisme pemantauan yang efektif jika tidak ada kerja sama dari platform media sosial
-
Kesadaran pajak yang masih rendah di kalangan kreator dan pelaku usaha digital
-
Risiko multitafsir, karena tidak semua aktivitas di media sosial menghasilkan uang secara langsung
Namun, dengan pendekatan yang edukatif dan sistematis, Kemenkeu punya peluang untuk mengajak para pelaku digital berkontribusi pada negara secara adil.
Target Pemerintah: Peningkatan Rasio Pajak terhadap PDB
Wacana pemajakan media sosial ini bukan sekadar uji coba. Pemerintah menargetkan peningkatan rasio penerimaan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) di kisaran 11,71% hingga 12,22% pada tahun 2026.
Rasio perpajakan ditargetkan mencapai 10,08% hingga 10,45%, sementara PNBP ditargetkan di angka 1,63% hingga 1,76%.
Untuk mencapai target ini, perlu ada perluasan objek pajak—dan media sosial jadi salah satu sektor yang dinilai paling potensial.
Baca Juga: Ada Pegawai Kemenkeu Bergaya Hidup Mewah dan Mencurigakan? Laporkan di Sini!
Apa yang Harus Dilakukan oleh Pelaku Ekonomi Digital?
Jika Anda seorang influencer, kreator konten, affiliate marketer, atau pelaku usaha di media sosial, inilah saat yang tepat untuk:
-
Mulai mencatat dan mendokumentasikan penghasilan dari media sosial secara transparan
-
Memahami aturan perpajakan yang berlaku, terutama terkait penghasilan pribadi
-
Berkonsultasi dengan konsultan pajak agar tidak salah langkah saat aturan ini mulai diberlakukan
-
Menggunakan NPWP dan melaporkan SPT tahunan secara jujur dan tepat waktu
Langkah Kemenkeu incar pajak media sosial bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Ini adalah lanjutan dari tren global di mana aktivitas ekonomi digital tidak lagi dibiarkan bebas tanpa kontribusi terhadap negara.
Meski implementasinya masih dalam tahap perencanaan, arah kebijakan sudah cukup jelas: semua bentuk penghasilan, termasuk dari media sosial, akan dijadikan objek pajak jika memenuhi kriteria tertentu.
Di satu sisi, ini bisa membantu negara memperkuat penerimaan di tengah tekanan fiskal. Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan bahwa kebijakan ini dilaksanakan dengan adil, proporsional, dan tidak memberatkan pelaku usaha kecil di dunia digital.
Baca Berita dan Artikel yang lain di Google News.
(fnf)
Tinggalkan Komentar